Bos BI Sentil Lagi Perbankan, Udah Tebar Rp800 Triliun Suku Bunga Sulit Turun

JAKARTA — Meskipun Bank Indonesia (BI) telah menggelontorkan likuiditas lebih dari Rp800 triliun dan agresif memangkas suku bunga acuannya, perbankan nasional masih enggan menurunkan suku bunga kredit. Realisasinya masih jauh dari ekspektasi, menciptakan jurang antara harapan bank sentral dan kenyataan di sektor riil.

Gubernur BI Perry Warjiyo memerinci langkah-langkah luar biasa yang telah diambil. Sejak awal tahun hingga pertengahan September 2025, BI telah melakukan ekspansi likuiditas melalui tiga jalur utama. Pertama, mengurangi volume Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp200,35 triliun, dengan posisi SRBI turun dari Rp916,97 triliun menjadi Rp716,62 triliun per 15 September 2025. Kedua, bank sentral telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah senilai Rp217 triliun. Ketiga, BI menyalurkan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) senilai Rp383,6 triliun yang ditujukan bagi perbankan, termasuk bank BUMN, BUSN, dan kantor cabang bank asing, untuk mendorong kredit dan pembiayaan. Secara total, guyuran likuiditas ini mencapai lebih dari Rp800 triliun.

Tidak hanya itu, BI juga telah secara konsisten menurunkan suku bunga acuannya. Sejak September 2024, BI Rate telah dipangkas sebanyak enam kali, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps), yaitu pada September 2024, Januari 2025, Mei 2025, Juli 2025, Agustus 2025, dan terakhir pada September 2025. Hasilnya, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 16-17 September 2025, bank sentral memutuskan untuk menempatkan BI Rate pada level terendah sejak 2022, yakni 4,75%. Sejalan dengan itu, suku bunga deposito atau depository facility juga diturunkan 50 bps menjadi 3,75% untuk lebih memacu penyaluran kredit perbankan ke sektor riil.

Dengan segala upaya ini, Gubernur Perry Warjiyo secara terbuka mengungkapkan keheranannya di hadapan Komisi XI DPR. “Kami bertanya, BI Rate sudah turun enam kali, 1,25%, dan ini terendah dan kami sudah nggerojokin likuiditas besar. Pertanyaanya, kenapa bank-nya kok belum?” ujarnya pada Senin (22/9/2025). Transmisi kebijakan BI ke suku bunga perbankan memang terlihat tidak sejalan; setelah BI Rate turun 125 bps, suku bunga deposito bank hanya merosot 16 bps dan masih bertahan di angka 4,65%.

Perry mengidentifikasi dua faktor utama di balik fenomena ini. Pertama, adanya praktik “special rate” yang diterapkan perbankan. Ini adalah penawaran suku bunga di atas tingkat penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada deposan-deposan besar. Praktik ini mencakup sekitar 25% dari total dana pihak ketiga (DPK) di perbankan, dengan nilai fantastis mencapai Rp2.380,4 triliun, yang menyebabkan perbankan enggan memangkas suku bunga secara drastis. Kedua, permintaan kredit dari sektor riil yang masih lemah. Pelaku usaha cenderung bersikap wait and see dan memilih memanfaatkan dana internal mereka untuk pembiayaan. Buktinya, total undisbursed loan atau kredit yang belum dicairkan mencapai Rp2.372,1 triliun, menunjukkan masih kuatnya posisi keuangan internal dunia usaha.

Menyikapi situasi ini, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mendesak BI agar mengkomunikasikan kondisi sebenarnya kepada publik. Ia menekankan pentingnya menghindari kesan bahwa perbankan mengalami kesulitan likuiditas. Politisi Partai Golkar itu menambahkan, tingginya angka undisbursed loan justru mengindikasikan bahwa masyarakat dan pelaku usaha masih memiliki cashflow yang kuat, sehingga belum terdorong untuk memanfaatkan fasilitas pinjaman dari perbankan, meskipun BI telah berupaya keras menurunkan suku bunga untuk mendorong ekspansi kredit. Ini menunjukkan kompleksitas transmisi kebijakan moneter dalam menghadapi dinamika pasar dan perilaku ekonomi.