Ussindonesia.co.id JAKARTA. Pasar petrokimia domestik di Indonesia kini menghadapi ancaman serius. Pasokan besar-besaran dari China siap membanjiri Tanah Air sebagai imbas dari kenaikan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Situasi ini diperkirakan akan menjadi beban berat bagi bisnis emiten lokal yang bergerak di sektor petrokimia.
Sebagai produsen petrokimia terbesar dunia, China terpaksa mencari pasar baru di luar AS untuk menampung produknya. Kawasan Asia, termasuk Asia Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan tak terkecuali Indonesia, menjadi daftar sasaran utama. Data terbaru dari Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengonfirmasi kecenderungan ini. Hingga Oktober 2025, volume impor petrokimia dari China ke Indonesia telah melonjak hampir dua kali lipat. Pada periode yang sama, produk plastik jadi juga mencapai volume 900 ribu hingga 1 juta ton per tahun.
Pasca-penetapan tarif oleh AS, Inaplas memproyeksikan nilai impor petrokimia dapat menyentuh 150 ribu ton pada akhir tahun 2025, angka yang hampir dua kali lipat lebih tinggi dibanding impor 80 ribu ton yang tercatat pada tahun 2024. Sementara itu, impor produk plastik jadi ditaksir bisa mencapai 1,5 juta ton di akhir tahun 2025. Proyeksi ini bahkan diprediksi akan terus meningkat pada tahun 2026, terutama mengingat tingginya tarif yang dipasang AS untuk produk China.
Menurut Kepala Riset Korea Investment and Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, lonjakan impor ini merupakan ancaman serius bagi industri petrokimia lokal, khususnya bagi produsen bahan kimia antara (intermediate product) seperti polyethylene, polypropylene, atau PVC. Bahan-bahan ini merupakan dasar penting untuk produksi plastik kemasan, serat, karung, komponen otomotif, serta pipa dan kabel.
Dalam jangka pendek, risiko perang harga dan kelebihan pasokan di pasar domestik tak dapat dihindari. Wafi menjelaskan kepada Kontan, Selasa (7/10/2025), bahwa kondisi ini akan menekan margin produsen lokal seperti PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), dan PT Polytama Propindo (POLY). Tekanan terjadi karena harga jual produk berpotensi turun, sementara biaya bahan baku seperti naphta dan energi cenderung stabil.
Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany Travelin Yunus, senada dengan pandangan tersebut. Ia menambahkan bahwa situasi ini diperparah oleh kualitas dan harga produk turunan dari China yang kerap lebih baik dibandingkan produk domestik. China memiliki alat produksi yang lebih maju, memungkinkan mereka menekan biaya produksi dan menawarkan harga yang lebih kompetitif. Potensi melemahnya permintaan pasar akibat banyaknya pilihan produk juga menjadi faktor yang memberatkan industri lokal.
Melihat kondisi ini, Indri menilai pemerintah perlu mengambil sikap tegas dengan memperketat kebijakan impor. Langkah ini krusial untuk mencegah beban berlebihan pada industri petrokimia hulu dan hilir di dalam negeri. Wafi menimpali bahwa pengawasan bea masuk dan implementasi safeguard policy oleh pemerintah akan menjadi kunci utama untuk melindungi industri domestik dari praktik dumping produk murah asal China. Selain itu, percepatan proyek-proyek strategis seperti pembangunan smelter dan kompleks petrokimia di Balongan dan Tuban juga perlu terus didorong untuk memperkuat kapasitas produksi lokal.
Tak hanya pemerintah, emiten lokal juga diimbau untuk meningkatkan efisiensi dan tidak hanya terpaku pada produksi produk dasar. Menurut Wafi, pengembangan produk turunan dengan nilai jual yang lebih tinggi sangat diperlukan. Produk-produk seperti specialty chemical, yakni bahan kimia khusus untuk industri medis dan otomotif, atau green polymer, plastik ramah lingkungan, dapat menjadi alternatif diversifikasi produk baru yang lebih tahan terhadap persaingan produk murah.
Bila strategi tersebut berhasil diterapkan, emiten di sektor ini dinilai Wafi masih prospektif ke depannya. Ia menyebut PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) memiliki keunggulan karena telah merambah ke produk hilir (downstream) dan bahan kimia ramah lingkungan melalui proyek Chandra Asri Petrochemical 2 dan green chemical. Demikian pula PT Barito Pacific Tbk (BRPT) yang dilihatnya punya kesempatan serupa berkat upaya ekspansinya ke sektor energi hijau.
Rekomendasi Saham
Secara teknikal, Indri melihat saham TPIA saat ini berada dekat dengan level support-nya dan sedang berupaya melewati level resistensi Rp 7.900. Jika TPIA berhasil menembus dan bertahan di atas Rp 8.000, maka saham ini menurutnya berpotensi bergerak hingga level Rp 8.500. Oleh karena itu, ia menyarankan strategi buy on breakout untuk saham TPIA dengan area masuk di harga Rp 7.900, stoploss atau batas rugi Rp 7.575, dan take profit alias batas jual di Rp 8.500.
Sementara itu, Muhammad Wafi merekomendasikan hold untuk saham TPIA dan BRPT, dengan masing-masing target harga Rp 7.800 dan Rp 4.200.