Indonesia dan Tiongkok terus mengukuhkan komitmen mereka dalam memperkuat kerja sama penggunaan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) untuk aktivitas perdagangan dan investasi bilateral. Skema LCT ini menawarkan serangkaian keuntungan signifikan, mulai dari peningkatan efisiensi transaksi, penurunan biaya konversi mata uang, hingga penopang fundamental stabilitas keuangan bagi kedua negara.
Data terkini menunjukkan hasil yang impresif. Sepanjang periode Januari hingga Juli 2025, total transaksi LCT antara Indonesia dan Tiongkok berhasil mencapai nilai ekuivalen USD 6,23 miliar. Angka ini mencerminkan lonjakan luar biasa, hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat senilai USD 2,17 miliar. Peningkatan drastis ini menggarisbawahi efektivitas dan potensi ekspansi skema LCT.
Peningkatan substansial dalam kerja sama ini menjadi salah satu sorotan utama dalam pertemuan penting antara Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dengan Gubernur People’s Bank of China (PBoC), Pan Gongsheng, yang berlangsung di Beijing pada hari Kamis, 11 September. Pertemuan tersebut juga bertepatan dengan perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok, menandai tonggak sejarah yang erat.
Ke depan, BI bersama PBoC berkomitmen untuk terus mendorong inovasi dan memperluas integrasi keuangan antarnegara. Perry Warjiyo menegaskan, “Langkah ini mencerminkan komitmen bersama untuk memperkuat kolaborasi bilateral dan membangun ekosistem keuangan yang lebih terhubung, aman, dan inklusif.” Pernyataan ini menegaskan visi jangka panjang untuk kemitraan ekonomi kedua negara.
Gubernur PBoC Pan Gongsheng turut menekankan vitalnya kerja sama antara Tiongkok dan Indonesia sebagai dua negara berkembang terbesar di Asia. “Hubungan dagang dan investasi kedua negara telah dibangun di atas fondasi kerja sama keuangan yang solid. Karena itu, peningkatan kerja sama ini menjadi sangat penting di tengah tantangan global saat ini,” ujarnya, menyoroti peran krusial kemitraan ini di tengah dinamika ekonomi global.
Selain dengan Tiongkok, implementasi LCT juga terus dikembangkan secara agresif dengan berbagai negara mitra lainnya. Selama periode Januari hingga Juli 2025, nilai transaksi LCT Indonesia dengan Jepang mencapai USD 5,08 miliar, diikuti oleh Malaysia senilai USD 2,03 miliar. Mitra lainnya termasuk Thailand dengan USD 644 juta, Korea Selatan sebesar USD 85 juta, dan Uni Emirat Arab sebesar USD 72 juta. Ekspansi ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mendiversifikasi penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional.
Uji Coba QRIS Antarnegara
Sejalan dengan penguatan LCT, BI dan PBoC juga telah memulai uji coba terbatas (sandbox) untuk konektivitas pembayaran digital melalui QRIS antarnegara. Fase awal proyek inovatif ini melibatkan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan mitra industri dari Tiongkok, UnionPay International. Inisiatif ini merupakan langkah konkret yang krusial untuk memperkuat konektivitas sistem pembayaran lintas batas dan mendukung transaksi yang lebih lancar.
QRIS antarnegara ini tidak hanya merefleksikan kemajuan teknologi, tetapi juga diharapkan dapat secara signifikan mendorong inklusi keuangan, keterjangkauan, dan akses layanan keuangan yang lebih luas bagi masyarakat kedua negara. Implementasi LCT dan QRIS lintas negara secara kolektif mencerminkan sinergi kuat yang terjalin antara bank sentral, asosiasi sistem pembayaran, dan berbagai lembaga keuangan di Indonesia dan Tiongkok. Perry menambahkan, “Kolaborasi tersebut juga mendukung terbentuknya ekosistem keuangan digital yang tangguh, inklusif, dan kompetitif di kawasan,” menekankan dampak regional yang positif.
Dalam pandangannya, Director of Tiongkok-Indonesia and Indonesia-Middle East and North Africa Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rakhmat, menyatakan bahwa Tiongkok telah memberikan sumbangan yang besar terhadap mayoritas sektor di Indonesia. “Semuanya sudah dan sedang terjadi saat ini. Tiongkok sudah memberikan sumbangsih ke berbagai daerah (di Indonesia),” ungkapnya, menyoroti luasnya jangkauan kontribusi ekonomi Tiongkok.
Namun, Zulfikar juga menyoroti strategi komunikasi dan investasi ekonomi pemerintah Tiongkok yang cenderung berfokus pada sektor-sektor strategis semata, terkadang mengabaikan pembangunan di sektor pendidikan lokal di negara-negara mitranya. Lebih lanjut, ia mengamati bahwa Tiongkok kerap menggunakan media lokal di wilayah mitranya untuk hanya menampilkan sisi positif dari keterlibatan ekonominya. Menurutnya, strategi ini bisa dipahami dari perspektif efisiensi ekonomi. Apabila Tiongkok telah menjadi penyumbang ekonomi besar di suatu wilayah, cenderung tidak mengalokasikan sumber daya tambahan untuk pengembangan aspek lain seperti pendidikan ataupun lingkungan.