KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempersiapkan langkah strategis untuk memperkuat struktur pasar modal Indonesia dengan merevisi ketentuan mengenai porsi kepemilikan publik atau free float. Regulasi baru ini akan mencakup persyaratan initial free float untuk penawaran umum perdana (IPO) serta kewajiban free float bagi emiten yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dalam rancangan aturan yang sedang digodok, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengusulkan perubahan signifikan untuk kebijakan initial free float IPO. Pendekatan yang akan digunakan adalah berdasarkan nilai kapitalisasi pasar, menggantikan metode sebelumnya yang mengacu pada nilai ekuitas. Pendekatan ini selaras dengan praktik terbaik di beberapa bursa global terkemuka, termasuk di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.
Lebih lanjut, untuk emiten yang telah tercatat di bursa, OJK mengusulkan peningkatan desain free float secara bertahap. Kebijakan ini akan diterapkan dengan mempertimbangkan dinamika pasokan dan permintaan saham, serta kebutuhan pendanaan yang mungkin timbul untuk memenuhi peningkatan porsi free float tersebut. Untuk mendukung implementasi kebijakan ini, OJK juga mengusulkan beragam insentif dan sanksi, serta upaya peningkatan peran investor institusi domestik dalam ekosistem pasar modal.
Rencana kebijakan ini dijadwalkan untuk dibahas lebih lanjut oleh BEI dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dalam rapat kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat pada kuartal IV-2025. Proses pembahasan ini diharapkan dapat menyaring masukan dan perspektif dari berbagai pihak demi menghasilkan regulasi yang komprehensif dan efektif.
Menanggapi rencana ini, Pengamat Pasar Modal Indonesia, Reydi Octa, menilai kebijakan peningkatan free float sebagai langkah positif yang berpotensi memperkuat likuiditas dan transparansi pasar. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa bagi emiten dengan struktur kepemilikan yang sangat terkonsentrasi, kebijakan ini dapat menimbulkan tekanan jual yang signifikan. Reydi mencontohkan, apabila saham suatu emiten didominasi oleh pihak pengendali, jajaran internal, atau institusi konsorsium, mereka mungkin akan terpaksa menjual sejumlah besar sahamnya untuk memenuhi ketentuan free float. Penjualan dalam volume besar ini berisiko melemahkan daya beli di pasar, yang pada akhirnya dapat menekan harga saham dan menyebabkan penurunan.
“Arah kebijakannya tepat, tapi waktu penerapannya harus hati-hati agar tidak menimbulkan kelebihan suplai saham di pasar,” ujar Reydi kepada Kontan. Ia menambahkan, pasar saham Indonesia, khususnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih didominasi oleh investor ritel, sementara ketersediaan dana institusional jangka panjang masih terbatas. Oleh karena itu, Reydi menyarankan agar kenaikan free float dilakukan secara bertahap, dimulai dari emiten berkapitalisasi besar sebelum menyasar kelompok menengah dan kecil untuk memitigasi potensi gejolak di pasar.
Ringkasan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana merevisi aturan free float saham, termasuk persyaratan untuk IPO dan emiten yang sudah tercatat, dengan pendekatan berdasarkan kapitalisasi pasar. Revisi ini bertujuan memperkuat struktur pasar modal Indonesia dan menyesuaikan dengan praktik terbaik global, serta akan dibahas lebih lanjut dengan BEI dan AEI.
Pengamat pasar modal menilai positif rencana ini, namun mengingatkan potensi tekanan jual signifikan bagi emiten dengan kepemilikan terkonsentrasi. Penerapan aturan ini perlu dilakukan bertahap, dimulai dari emiten kapitalisasi besar, mengingat dominasi investor ritel dan keterbatasan dana institusional jangka panjang di pasar saham Indonesia.