Jakarta, IDN Times – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi bahwa pemerintah tengah mempersiapkan rencana besar untuk perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akan berakhir pada tahun 2041. Langkah strategis ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan kelangsungan operasional tambang emas raksasa tersebut, tetapi juga untuk menambah kepemilikan saham Indonesia di PTFI. Tujuannya adalah agar eksplorasi tambang bawah tanah yang krusial tetap berlanjut, sekaligus mengoptimalkan manfaat bagi negara.
Proses penambahan saham ini akan difinalisasi melalui serangkaian negosiasi intensif yang puncaknya dijadwalkan dalam rapat bersama Freeport pada awal Oktober 2025. Bahlil menjelaskan, komunikasi dengan Freeport McMoRan dan Freeport Indonesia terus berjalan di bawah arahan langsung Presiden Prabowo Subianto. “Saya rencana mungkin di awal Oktober baru kami akan melakukan rapat final dengan pihak Freeport,” ujar Bahlil kepada jurnalis di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Jumat (26/9/2025), mengindikasikan pentingnya pertemuan tersebut.
Salah satu opsi kunci yang sedang dibahas adalah penambahan kepemilikan saham Indonesia di atas 10 persen. Meskipun angka final belum ditetapkan, pemerintah secara aktif bernegosiasi untuk mencapai target hingga 12 persen. “Belum diputuskan angka finalnya, tetapi diatas 10 persen. Insyaallah akan lebih baik dan pemerintah sedang bernegosiasi sampai dengan angka 12 persen,” tegas Bahlil, menunjukkan ambisi pemerintah untuk memperkuat kontrol atas aset vital ini.
Menariknya, Bahlil menegaskan bahwa akuisisi penambahan saham ini tidak akan membebani keuangan negara secara signifikan. Nilai valuasi saham yang ditambah tersebut diperkirakan tidak besar, sehingga diharapkan dapat diperoleh dengan harga yang sangat murah oleh pemerintah, melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua dan MIND ID. “Saya minta itu harus diberikan angka yang semurah-murahnya kepada pemerintah dalam hal ini adalah BUMD Papua dan MIND ID,” katanya, menggarisbawahi komitmen untuk transaksi yang menguntungkan negara. Informasi tambahan, sebelumnya pemerintah sempat meminta PTFI untuk membangun smelter di Papua sebagai syarat perpanjangan kontrak, namun hal tersebut urung terealisasi.
Keputusan untuk memperpanjang kontrak Freeport tidak lepas dari pertimbangan teknis operasional tambang. Bahlil menjelaskan, karakteristik eksplorasi tambang bawah tanah sangat berbeda dengan tambang terbuka (open pit). Produksi tambang bawah tanah yang terlihat pada 2020-2021 merupakan buah dari eksplorasi yang telah dimulai sejak 2004, menyoroti jangka waktu panjang yang dibutuhkan.
“Jadi eksplorasi di-underground itu butuhkan waktu 10 sampai 16 tahun,” jelas Bahlil. Ia menambahkan, jika perpanjangan kontrak tidak segera dilakukan, puncak produksi Freeport diperkirakan hanya akan terjadi pada 2035, setelah itu akan mengalami penurunan drastis. Kondisi ini tentunya akan berdampak serius pada produktivitas perusahaan, potensi pendapatan negara, ketersediaan lapangan pekerjaan, serta stabilitas ekonomi daerah maupun nasional.
Mengingat urgensi tersebut, Bahlil menuturkan bahwa ia telah mengadakan rapat dengan Freeport McMoRan dan Presiden Freeport Indonesia, Tony Wenas, empat hari sebelumnya untuk menindaklanjuti arahan Presiden. Ini menunjukkan keseriusan dan percepatan langkah pemerintah dalam memastikan keberlanjutan operasional Freeport di Papua demi kepentingan nasional jangka panjang.