
Ussindonesia.co.id JAKARTA. Tren penguatan rupiah yang telah berlangsung selama tiga hari beruntun akhirnya terhenti pada perdagangan Selasa, 11 November 2025. Mata uang Garuda harus mengakui dominasi dolar AS di tengah sentimen pasar global yang dinamis.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot menutup perdagangan dengan melemah tipis 0,24%. Rupiah berada di level Rp 16.694 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat bertengger di Rp 16.654 per dolar AS. Pelemahan ini sejalan dengan pergerakan beberapa mata uang utama Asia lainnya.
Kondisi ini didorong oleh menguatnya dolar Amerika Serikat dan sentimen positif di pasar global. Pasar merespons kemajuan signifikan dalam pembahasan kesepakatan untuk mengakhiri penutupan pemerintahan (shutdown) di Amerika Serikat yang telah berlangsung lama dan sempat menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Prospek penyelesaian shutdown ini sontak membawa angin segar ke pasar keuangan global.
IHSG Terpangkas 0,29% ke 8.366, Top Losers LQ45 MAPI, SCMA dan MEDC, Selasa (11/11)
Di kancah pasar global, pergerakan mata uang menunjukkan pola yang beragam. Yen Jepang tercatat anjlok ke posisi terlemahnya sejak Februari, sementara itu, mata uang yang cenderung berisiko seperti dolar Australia dan poundsterling justru menunjukkan penguatan signifikan terhadap dolar AS. Euro tampak stabil di US$1,1555, sedangkan poundsterling mampu menguat ke US$1,3165.
Perkembangan penting datang dari Amerika Serikat, di mana Senat AS pada Senin berhasil meloloskan rancangan undang-undang krusial. RUU ini bertujuan untuk memulihkan pendanaan federal dan secara resmi mengakhiri shutdown terpanjang dalam sejarah AS. Langkah ini disambut baik oleh pasar, memicu optimisme yang mendorong penguatan dolar AS secara luas.
Rancangan undang-undang tersebut kini telah dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS. Ketua DPR, Mike Johnson, menegaskan komitmennya untuk segera mengesahkan RUU ini dan mengirimkannya langsung kepada Presiden Donald Trump agar segera ditandatangani dan menjadi undang-undang yang berlaku.
Masuk Indeks MSCI, Begini Respons Manajemen Barito Renewables Energy (BREN)
Sentimen Pasar Global Menggerakkan Kurs Mata Uang
Dolar Australia menjadi salah satu mata uang dengan performa paling menonjol, menguat 0,7% hingga mencapai US$0,6536 pasca pemungutan suara di Senat AS. Namun, penguatan tersebut sedikit terkoreksi di sesi Asia sore hari, bergerak kembali ke kisaran US$0,6520.
Moh Siong Sim, seorang Strategis dari Bank of Singapore, yang dikutip dari Reuters, menjelaskan dinamika ini. “Pasar valas bergerak seiring dengan meningkatnya selera risiko (risk-on sentiment). Mata uang yang sensitif terhadap risiko seperti dolar Australia diuntungkan, sementara mata uang safe haven seperti yen justru melemah,” ungkap Sim.
Di sisi lain, yen Jepang terus berada di bawah tekanan kuat. Hal ini disebabkan oleh seruan dari Perdana Menteri baru, Sanae Takaichi, yang mengingatkan Bank of Japan untuk berhati-hati dalam menaikkan suku bunga. Situasi ini kontras dengan pembuat kebijakan AS yang mulai menahan diri dari pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
Bart Wakabayashi, Manajer Cabang State Street di Tokyo, menyoroti ketidaksesuaian ini. “Ekspektasi konvergensi suku bunga antara AS dan Jepang tampaknya tidak berjalan semulus yang diharapkan,” ujarnya. Ia menambahkan, “Kemungkinan investor yang sebelumnya mengambil posisi long pada yen mulai menutup posisi mereka,” menjelaskan mengapa yen terus tertekan.
Penjualan Mobil Astra International (ASII) Turun 24,59% Hingga Oktober 2025
Dolar Selandia Baru dan Won Korea Tertekan Fluktuasi Pasar
Sementara itu, dolar Selandia Baru (NZD) juga tidak luput dari tekanan, melemah 0,2% ke US$0,5635 dan mendekati level terendah dalam tujuh bulan terakhir. Pelemahan ini terjadi setelah survei menunjukkan ekspektasi inflasi yang lemah pada kuartal IV-2025 serta potensi penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
“Pelemahan kiwi mencerminkan perbedaan arah kebijakan moneter dengan Australia, di mana outlook ekonomi Selandia Baru masih lesu,” demikian laporan dari Reuters, menggarisbawahi tantangan ekonomi yang dihadapi Selandia Baru.
Dari kawasan Asia Timur, won Korea Selatan mengalami tekanan tajam, anjlok ke posisi terendah tujuh bulan dan mencatatkan pelemahan lebih dari 2% sepanjang bulan November ini. Kiyong Seong, Kepala Strategi Makro Asia di Societe Generale Hong Kong, menjelaskan penyebab utama tekanan ini.
Menurut Seong, “Kenaikan dolar terhadap won (USD/KRW) belakangan ini terutama didorong oleh arus keluar portofolio, khususnya investasi domestik yang beralih ke saham-saham AS.” Hal ini menunjukkan pergeseran preferensi investor lokal yang mencari peluang lebih menarik di pasar Amerika Serikat, memberikan dampak signifikan pada nilai tukar won Korea.