
Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Saham-saham terafiliasi konglomerat menjadi primadona di pasar saham sepanjang tahun 2025. Saham seperti DCII, MORA, hingga BUMI menjadi penghuni daftar top leaders di IHSG sejak awal tahun (year-to-date/ytd).
Melihat harga saham-saham tersebut yang kian premium, investor mulai mengukur prospek dan valuasi harga saat ini dengan pertimbangan kelayakan untuk ditebus maupun akumulasi tambahan.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) David Kurniawan memberikan tiga contoh dari saham-saham top leaders tahun ini yaitu DCII, MORA, dan BUMI. Saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) menurutnya saat ini mulai memasuki fase downtrend.
: Saham Konglomerat Prajogo Pangestu hingga Bakrie, Mana yang Masih Prospektif 2026?
“Harganya stagnan dan melemah meski laba per kuartal III/2025 tumbuh besar. Ini menjadi tanda momentum buyers mulai hilang,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (12/12/2025).
Pada penutupan perdagangan Jumat (12/12), DCII ditutup menguat tipis 0,02% atau 50 poin ke level Rp244.800. Dalam sebulan terakhir level harga tersebut mencerminkan koreksi 6,56%, walau secara ytd saham emiten milik Otto Toto Sugiri tersebut melonjak 476%. Fundamentalnya, laba bersih DCII per kuartal III/2025 masih tumbuh 83,54% year on year (YoY).
: : Konglomerat dan Besan-Besannya yang Makin Sugih
Sementara itu, saham PT Mora Telematika Indonesia Tbk. (MORA) per penutupan Jumat lalu ada di posisi Rp11.325. Harga tersebut mencerminkan lonjakan 69,66% dalam sebulan terakhir, namun pada perdagangan Jumat terkoreksi 5,23%. Namun, secara YtD saham MORA telah menikmati kenaikan 2.533,72%. Dari fundamentalnya, laba bersih MORA per kuartal III/2025 juga masih tumbuh 16,4% YoY.
“MORA possible top [kemungkinan harga sudah mencapai puncaknya]. Meski fundamental masih tumbuh, kecepatan kenaikan harga terlalu ekstrem dibanding earning growth,” jelasnya.
: : 4 Dekade Bisnis Indonesia: Sampoerna, Si Konglomerat Koboi dalam 4 Babak
Kemudian, saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) per penutupan Jumat (12/12) masih menguat 2,22% ke Rp368. Harga tersebut dalam sebulan terakhir melejit 65,77%, sehingga sejak awal tahun saham BUMI melejit 199,19%. Padahal secara fundamental, laba bersih perseroan per kuartal III/2025 susut 73,6% YoY.
“Kalau saham BUMI masih uptrend. Price action agresif plus volume besar menunjukkan strong money masih masuk, high risk,” jelas David.
Sejalan dengan kenaikan harga saham yang melonjak ratusan hingga ribuan persen sejak awal tahun, valuasinya juga menjadi premium. Misalnya, rasio price to earnings (PE) annualised (disetahunkan) saham MORA berada di level 835,86 kali dengan rasio price to book value (PBV) di 34,38 kali. Sedangkan, PE BUMI ada di level 215,88 kali dengan PBV 5,31 kali. Bahkan, PE DCII ada di 530,50 kali dengan PBV 152,41 kali.
Menilik jajaran saham top leaders lainnya, saham PT Dian Swastika Sentosa Tbk. (DSSA) yang harganya melonjak tembus Rp100.000, mencatatkan rasio PE 211,50 dengan PBV 27,70 kali. Atau, saham PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN) yang secara YtD per Kamis (11/12) melejit 127,08%, mencerminkan rasio PE sebesar 798,77 kali dengan PBV 53,01 kali.
David melihat saham-saham jajaran top leaders saat ini secara valuasi tidak ada yang cukup atraktif. Namun, bukan berarti saham-saham tersebut kehilangan potensi pertumbuhan lagi di tahun depan.
“Rata-rata memiliki valuasi tidak masuk akal, maka pendekatan yang bisa dilakukan adalah analisa teknikal dan money flow,” ujarnya.
David menjelaskan, pada dasarnya dalam siklus market setiap saham selalu memiliki masanya sendiri. Artinya, saham-saham yang tahun ini menikmati pertumbuhan besar-besaran, belum tentu akan lanjut uptrend di 2026.
“Apalagi kenaikan sahamnya tidak didukung dengan earnings yang sesuai, ini membuat gap fundamental makin jauh,” tandasnya.
_______
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.