Kredit nganggur capai Rp2.500 triliun di bank, BI ungkap penyebabnya

Ussindonesia.co.id – , JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatat fasilitas pinjaman yang belum dicairkan atau undisbursed loan di bank pada November 2025 masih bernilai jumbo yakni menembus lebih dari Rp 2.500 triliun. Hal itu mengindikasikan bahwa dana tersebut belum terserap maksimal oleh sektor riil.

Menurut catatan BI, kredit menganggur tercatat terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada November 2025, angka undisbursed loan mencapai Rp 2.509,4 triliun, atau 23,18 persen dari plafon kredit yang tersedia.

“Ketika kita melihat kenapa undisbursed loan-nya tinggi, memang umumnya mereka wait and see, ini dari sisi demand,” kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Solikin M Juhro dalam acara Taklimat Media bertajuk ‘Asesmen Efektivitas Kebijakan Makroprudensial dalam Mendorong Pertumbuhan Kredit di 2025’ di Kompleks BI, Jakarta, Senin (22/12/2025).

Di samping adanya sikap debitur yang wait and see, dari sisi demand Solikin juga menilai para debitur beranggapan lebih memilih menggunakan dana internal atau sumber yang lain dibandingkan meminjam kredit dengan suku bunga yang tinggi.

Diketahui, BI telah menurunkan suku bunga acuan/BI Rate sebanyak 125 basis poin (bps) di sepanjang 2025. Seiring dengan itu, transmisi penurunan BI Rate terhadap suku bunga perbankan terus berlanjut, terutama pada suku bunga dana. Suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 67 bps dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,14 persen pada November 2025.

Namun, penurunan suku bunga kredit perbankan cenderung lebih lambat. Yaitu sebesar 24 bps dari 9,20 persen pada awal 2025 menjadi sebesar 8,96 persen pada November 2025.

 

Solikin mengatakan, BI memiliki punya strategi dalam mengatasi persoalan undisbursed loan yang masih sangat tinggi hingga saat ini. Ia menyebut, Bank Sentral mengidentifikasi permasalahan dari sisi demand maupun dari sisi supply.

“Terutama sisi demand, kita memang memperkuat koordinasi untuk mendorong respons sisi demand. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan kita lakukan ke depan, selain menggunakan regular instrument, makroprudensial, kita juga melakukan koordinasi dan komunikasi yang diperkuat untuk mendorong respons sisi demand, respons sektor riil,” terangnya.

Solikin menuturkan, permasalahan itu juga dibawa ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sebagai upaya melakukan percepatan intermediasi. Ia menyebut, pihaknya memberikan pemahaman mengenai sektor-sektor mana yang akan mendorong kegiatan ekonomi lebih lanjut, sehingga debitur ataupun investor tidak wait and see.

“Yang utama di luar itu adalah membangun persepsi, confidence ekonomi. Sehingga kebijakan itu harus kredibel dan diorkestrasikan dengan baik, agar masyarakat enggak merasa was-was,” ujarnya.