Aset ramah iklim tetap diminati investor sepanjang 2025, saham dan obligasi hijau menggeliat

Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Aset investasi berlabel hijau atau ramah iklim tetap menarik minat investor sepanjang tahun ini, meskipun terjadi langkah mundur dalam kebijakan dan regulasi iklim di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Lonjakan permintaan infrastruktur energi yang dipicu perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) turut menjadi pendorong utama arus modal tersebut.

Penerbitan obligasi dan pinjaman hijau global tercatat mencapai rekor US$947 miliar sepanjang tahun ini, berdasarkan data Bloomberg Intelligence. Pada saat yang sama, indeks saham energi terbarukan bersiap mencatatkan kenaikan tahunan pertama sejak 2020 dan mengungguli kinerja indeks S&P 500 secara signifikan. Saham perusahaan teknologi jaringan listrik juga tetap menjadi favorit investor.

Arus investasi ini tergolong menonjol mengingat Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka mendukung energi fosil serta membongkar sejumlah subsidi dan regulasi energi bersih. Di Eropa, sejumlah aturan lingkungan paling ketat juga dilonggarkan di tengah kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing.

Meski demikian, sinyal kebijakan yang lebih jelas serta proyeksi kenaikan permintaan listrik global karena didorong oleh kebutuhan AI, pendinginan, dan elektrifikasi justru mampu menopang optimisme investor.

: Mekanisme Perdagangan Karbon Sektor Industri Disiapkan, Proyek Pilot Bergulir 2026

“Investasi hijau makin dipandang sebagai bagian dari infrastruktur inti dan permainan industri, bukan cuma instrumen ESG yang bersifat niche,” ujar Melissa Cheok, associate director untuk riset investasi ESG di Sustainable Fitch, dikutip dari Bloomberg.

“Modal cenderung mengalir ke sektor dengan visibilitas pendapatan yang jelas, dukungan kebijakan, serta permintaan struktural, seperti peningkatan jaringan listrik dan energi terbarukan yang terkait dengan elektrifikasi,” tambahnya.

Di kawasan Asia-Pasifik, perusahaan dan penerbit yang terafiliasi dengan pemerintah menghimpun dana sebesar US$261 miliar melalui utang hijau, naik sekitar 20% dibandingkan tahun sebelumnya. China dan India menjadi pendorong utama pertumbuhan ini, seiring dukungan kuat terhadap pengembangan energi terbarukan.

Di China, penerbitan obligasi hijau tercatat mencetak rekor tertinggi dalam sejarah dengan nilai US$138 miliar. Bank-bank besar nasional memimpin penerbitan ini, disusul dengan peluncuran obligasi negara hijau pertama China di London awal tahun ini.

Fenomena greenium atau biaya pinjaman yang lebih rendah pada obligasi hijau paling terasa di Asia-Pasifik. BloombergNEF mencatat bahwa sejumlah penerbit memperoleh diskon lebih dari 14 basis poin hanya dengan menggunakan label hijau pada November lalu. Obligasi hijau umumnya dimanfaatkan untuk membiayai transisi ke energi terbarukan atau transportasi rendah karbon.

BNP Paribas SA dan Credit Agricole SA tercatat sebagai penjamin emisi obligasi hijau terbesar tahun ini. Nilai outstanding obligasi hijau tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk sekitar 30% dalam lima tahun terakhir dan kini menyumbang sekitar 4,3% dari total penerbitan obligasi global.

: Danantara Jajaki Peluang Investasi di Proyek Pembangkit EBT PLN

Penurunan suku bunga di AS serta kebutuhan pembiayaan ulang diperkirakan dapat mendorong penjualan obligasi hijau global hingga mencapai US$1,6 triliun pada tahun depan, menurut Crystal Geng, pimpinan riset ESG Asia di BNP Paribas Asset Management.

Saham-saham hijau juga menjadi pemimpin pasar tahun ini. Indeks energi bersih dari S&P Dow Jones Indices dan WilderShares masing-masing melonjak 45% dan 60%, meski masih berada di bawah level puncaknya pada 2021.

Saham perusahaan surya dan penyimpanan baterai di AS, termasuk SolarEdge Technologies Inc., mencatatkan kinerja terbaik, sementara produsen turbin angin memimpin penguatan di China dan Jerman.

Sementara itu, India muncul sebagai pusat penawaran umum perdana (IPO) energi terbarukan. Sebanyak 11 perusahaan berhasil menghimpun lebih dari US$1 miliar, sementara enam perusahaan lain tengah membidik dana lebih dari US$3 miliar. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu terdapat 14 perusahaan energi terbarukan yang menghimpun dana US$2,4 miliar melalui IPO.

: Regulasi Terkait Kewajiban Produsen Kelola Sampah Ditarget Rampung 2026

Namun, tidak semua pasar menikmati tren positif tersebut. Penerbitan utang hijau di AS turun 7% menjadi US$163 miliar tahun ini, sementara penjualan obligasi supranasional juga merosot dengan besaran serupa. Penggalangan dana di Jerman relatif stagnan di kisaran US$79 miliar.

India memang mencatatkan volume pinjaman hijau tertinggi sepanjang sejarah sebesar US$7 miliar. Namun, minat kuat dari bank-bank asing meningkatkan persaingan dan menekan margin pembiayaan proyek energi terbarukan dan sektor lain sebesar 5–10%, ujar Jeanne Soh, kepala structured finance Asia di Sumitomo Mitsui Banking Corp.

Adapun penjualan instrumen utang berkelanjutan yang dikaitkan dengan kinerja (sustainability-linked debt) anjlok sekitar 50% menjadi US$165 miliar tahun ini di tengah kekhawatiran praktik greenwashing. Penerbitan obligasi transisi untuk sektor sulit dikurangi emisinya juga merosot lebih dari separuh menjadi US$10,9 miliar.

Tren ini diperkirakan akan berbalik dalam dua tahun ke depan. Xuan Sheng Ou Yong, manajer portofolio klien untuk investasi berkelanjutan di Robeco Singapura, menyebut perubahan aturan dana investasi di Eropa akan memberi keleluasaan bagi manajer aset dalam mendefinisikan investasi berkelanjutan, termasuk membuka ruang bagi investasi pengurangan emisi di sektor dengan tingkat polusi tinggi.

Secara keseluruhan, volume utang berkelanjutan global tercatat sekitar US$1,6 triliun pada tahun ini, turun lebih dari 8% dibandingkan 2024. Secara terpisah, lebih dari US$500 miliar obligasi sosial diterbitkan di AS melalui Government National Mortgage Association (Ginnie Mae), yang menjamin pembayaran pokok dan bunga sekuritas berbasis kredit pemilikan rumah.