
Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka menghadiri pembukaan atau hari pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, Jumat (22/11). Pertemuan ini menutup tiga tahun fase presidensi negara-negara Global South dalam forum G20 dan menjadi momentum penegasan posisi negara berkembang dalam arsitektur ekonomi global.
Dalam sesi pleno, Indonesia menyoroti perlunya pergeseran paradigma tata kelola global. Negara berkembang disebut bukan lagi sekadar penerima kebijakan internasional, melainkan pemain setara yang ikut membentuk arah agenda global. Pemerintah menilai lanskap geopolitik yang berubah menuntut sistem yang lebih adaptif, inklusif, dan mencerminkan realitas ekonomi dunia saat ini.
Salah satu isu yang menjadi penekanan Indonesia adalah reformasi pembiayaan internasional. Pemerintah menilai akses pendanaan bagi negara berkembang masih belum setara sehingga diperlukan mekanisme baru, termasuk penghapusan utang, blended finance, dan skema pendanaan transisi energi yang lebih fleksibel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pesan tersebut ditegaskan dalam forum. “Wakil Presiden menegaskan bahwa pembiayaan internasional harus lebih mudah diakses dan setara bagi negara berkembang, termasuk melalui penghapusan utang, pembiayaan inovatif, dan transisi hijau,” ujarnya dalam konferensi pers usai pertemuan.
Baca juga:
- Wapres Gibran: Pembiayaan Global Harus Adil, QRIS Siap Jadi Standar Pembayaran
- Di G20, Wapres Gibran Dorong Program Makan Bergizi Jadi Model Investasi Global
Airlangga menambahkan bahwa Gibran juga menggarisbawahi pentingnya inovasi digital berbiaya rendah yang dapat mempercepat inklusi keuangan global. “Beliau juga menyoroti solusi digital sederhana dan berbiaya rendah seperti QR yang telah digunakan negara-negara Asia, serta mendorong dialog G20 mengenai ekonomi kecerdasan di tengah kemajuan teknologi keuangan,” imbuhnya.
Secara tidak langsung, Airlangga menjelaskan bahwa Indonesia ingin diskusi mengenai teknologi tak hanya berfokus pada infrastruktur digital, tetapi juga tata kelola kecerdasan buatan (AI) dan ekonomi berbasis data yang mulai mengubah struktur ekonomi global.
Isu ketahanan pangan juga kembali menjadi agenda yang disorot Indonesia. Dengan lebih dari 720 juta orang di dunia masih menghadapi kelaparan, pemerintah menilai pangan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar intervensi sosial. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disampaikan sebagai contoh kebijakan yang memberi manfaat berlapis, mulai dari peningkatan produksi lokal, pemberdayaan petani, hingga penguatan rantai pasok nasional.
Selain itu, Indonesia menilai adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana harus menjadi prioritas. Sebagai negara dengan karakter kepulauan yang berada di kawasan ring of fire, Indonesia menilai sistem pendanaan global harus mampu mengakomodasi kerentanan iklim dan risiko bencana.
Di luar forum utama, sejumlah pertemuan bilateral berlangsung dengan negara-negara Afrika. Banyak negara menyatakan minat memperdalam kerja sama dengan Indonesia, khususnya dalam sektor pertanian, agroindustri, kopi, dan kakao.
Dengan dinamika global yang kini memasuki era baru, Indonesia menegaskan bahwa negara berkembang tidak lagi berada di kursi penonton. Melalui momentum G20, Indonesia mendorong tata kelola global yang lebih inklusif dan relevan dengan tantangan abad ini.