5 Fakta Menarik tentang Psikologi di Balik Naik Turunnya Pasar Saham

Pernah gak sih, kamu merasa bingung kenapa pasar saham bisa berubah drastis dalam waktu singkat? Kadang baru beberapa jam lalu indeks naik tinggi, eh tiba-tiba turun tajam tanpa alasan yang jelas.

Di balik angka dan grafik yang terlihat kaku itu, ada “emosi” kolektif yang ikut bermain. Pasar saham ternyata gak sepenuhnya digerakkan oleh logika, tapi juga oleh perilaku, persepsi, dan psikologi para pelakunya.

Beberapa peneliti bahkan menyebut pasar saham sebagai cermin dari kepribadian manusia: penuh rasa takut, harapan, dan euforia. Menariknya, dengan semakin banyaknya algoritma yang ikut berdagang, unsur “emosional” ini justru makin kompleks.

Yuk, cari tahu lima fakta menarik tentang psikologi di balik naik-turunnya pasar saham berikut ini!

1. Pasar saham sering digambarkan seolah punya “emosi” sendiri

Dalam berita keuangan, kamu pasti sering dengar istilah seperti “pasar panik”, “Wall Street bersorak”, atau “pasar murung”. Padahal, pasar saham gak punya perasaan seperti manusia.

Menurut penelitian dalam Theory, Culture & Society, penggunaan bahasa antropomorfik ini sebenarnya berfungsi untuk mempermudah manusia memahami dinamika pasar yang kompleks. Kebiasaan menggambarkan pasar seperti manusia muncul karena otak kita cenderung mencari pola dan makna.

Dengan menyebut “pasar takut” atau “pasar optimistis”, kita merasa lebih mudah memaknai fluktuasi yang sulit dijelaskan secara rasional. Jadi, sebenarnya pasar gak benar-benar “marah” atau “bahagia”, itu hanya refleksi dari perasaan kolektif para pelaku pasar.

2. Perilaku investor dipengaruhi oleh bias psikologis

Banyak penelitian menunjukkan naik-turunnya pasar sering kali lebih disebabkan oleh perilaku manusia dibandingkan faktor ekonomi. Menurut studi dalam Contagious Markets, fenomena seperti herd behavior (ikut-ikutan massa), loss aversion (takut rugi), dan overconfidence (terlalu percaya diri) punya peran besar dalam pergerakan harga saham.

Misalnya, ketika satu saham mulai turun, banyak investor lain ikut menjual karena takut rugi, padahal belum tentu ada alasan fundamental di baliknya. Reaksi berantai seperti ini bisa memperparah penurunan harga. Sebaliknya, ketika euforia tinggi melanda, harga saham bisa melambung jauh di atas nilai wajarnya, menciptakan gelembung ekonomi.

3. Algoritma juga bisa memicu emosi manusia

Meski sekarang banyak transaksi saham dilakukan oleh mesin, bukan berarti unsur psikologis hilang begitu saja. Menurut penelitian dalam Algorithmic Trading in Experimental Markets, algoritma yang seharusnya netral justru bisa memicu emosi manusia seperti panik atau serakah ketika menciptakan lonjakan harga mendadak.

Menariknya lagi, sebagian algoritma justru dirancang untuk membaca suasana hati pasar. Dalam Journal of Trading Technologies, disebutkan beberapa sistem algoritmik menggunakan analisis bahasa alami untuk mengukur “mood” investor dari berita atau media sosial, lalu menyesuaikan strategi perdagangan berdasarkan emosi publik tersebut. Jadi, bisa dibilang, bahkan mesin pun kini belajar “merasakan” pasar.

4. Pasar bukan punya kepribadian, tapi punya pola “kolektif”

Dari sisi ilmiah, pasar saham tentu gak punya kesadaran atau niat tertentu. Tapi menurut penelitian, perilaku pasar bisa membentuk dinamika psikologis berskala menengah (mesoscale dynamics). Artinya, meskipun pasar digerakkan oleh banyak individu dan algoritma, hasil akhirnya bisa terlihat seperti satu entitas besar dengan pola perilaku tersendiri.

Fenomena ini terjadi karena interaksi antara emosi manusia dan keputusan mesin menciptakan “resonansi” perilaku. Jadi, meskipun pasar gak punya kepribadian, cara ia bereaksi terhadap peristiwa besar sering terlihat seperti satu “makhluk hidup” yang mengekspresikan ketakutan atau antusiasme kolektif.

5. Bahasa pasar membantu manusia memahami kekacauan

Menyebut pasar seperti manusia ternyata bukan tanpa manfaat. Berdasarkan analisis sosiologis yang dimuat dalam Theory, Culture & Society, metafora ini berfungsi sebagai cara manusia menenangkan diri di tengah ketidakpastian. Dengan menganggap pasar “sedang khawatir” atau “sedang bahagia”, investor bisa merasa punya kendali emosional terhadap hal yang sebenarnya sulit diprediksi.

Selain itu, penggunaan bahasa emosional juga membantu jurnalis dan analis membangun narasi yang lebih mudah dipahami publik. Walau terkesan sederhana, cara ini menolong banyak orang dalam mencerna informasi kompleks seputar ekonomi dan investasi.

Naik-turunnya pasar saham bukan cuma soal data, grafik, atau laporan keuangan. Di balik itu semua, ada lapisan psikologis yang mempengaruhi bagaimana manusia bereaksi terhadap informasi, risiko, dan peluang. Bahkan algoritma yang diciptakan untuk menyingkirkan emosi pun ternyata bisa memicu perilaku emosional baru.

Jadi, ketika kamu membaca berita “pasar sedang panik” atau “pasar euforia”, anggaplah itu sebagai cermin dari diri kita sendiri, cermin yang memantulkan harapan, ketakutan, dan keputusan kolektif jutaan orang di seluruh dunia. Dengan memahami sisi psikologis ini, kamu bisa jadi investor yang lebih tenang, rasional, dan bijak menghadapi fluktuasi yang tak pernah berhenti.

IHSG Sepekan Anjlok 4 Persen, Kapitalisasi Pasar Susut Jadi Rp14.746 T IHSG Anjlok, Menkeu Purbaya: Kalau Naik Terus Broker Tak Untung Prabowo Ulang Tahun, IHSG Ambruk 2,57 Persen