
Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap potensi pembengkakan anggaran subsidi listrik hingga Rp22 triliun jika harga domestic market obligation (DMO) batu bara dilepas ke mekanisme pasar.
Angka tersebut keluar berdasarkan simulasi dengan kisaran rata-rata harga batu bara acuan (HBA) US$121,5 per ton pada 2024. Untuk itu, harga DMO kelistrikan masih dipertahankan sebesar US$70 per ton dan industri semen serta pupuk sebesar US$90 per ton sejak 2018.
Senior Policy Analyst Kemenkeu Robert mengatakan, kebijakan ini dinilai penting untuk menjaga stabilitas tarif listrik sekaligus menghindari ledakan subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
: Wacana DMO Batu Bara Naik, Patokan Harga jadi Keresahan Industri
“Bayangkan, jadi kalau kita lepas itu DMO, masyarakat agar tidak naik harga listriknya, pemerintah harus menambah lagi subsidi kompensasi sebesar Rp22 triliun, itu cukup besar loh,” kata Robert dalam agenda IESR Brown to Green, Rabu (3/12/2025).
Robert menjelaskan, simulasi yang dilakukan untuk realisasi kebutuhan domestik sepanjang 2024 menunjukkan potensi pembengkakan subsidi lebih dari Rp22 triliun hanya dari selisih harga batu bara tersebut.
: : Bahlil Pertimbangkan Kerek Porsi DMO Batu Bara di Atas 25%
Menurut dia, beban subsidi listrik pada 2024 saja sudah mencapai sekitar Rp75 triliun, belum termasuk kompensasi. Jika harga DMO dilepas, tambahan beban lebih dari Rp22 triliun akan membuat total anggaran untuk listrik mendekati atau bahkan melampaui ratusan triliun.
Dia juga menegaskan bahwa keberadaan DMO dan domestic price obligation (DPO) merupakan instrumen vital untuk menjaga keberlanjutan fiskal. Tanpa penetapan harga, APBN akan tersedot hanya untuk menutup selisih harga energi, yang pada akhirnya mengurangi ruang pemerintah untuk membiayai sektor prioritas lainnya.
: : Pengusaha Minta Harga DMO Batu Bara Naik, ESDM Matangkan Skema MIP
“APBN jangan hanya untuk dipakai buat bakar doang, terus kita subsidi doang, tapi wajib untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan infrastruktur, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah tetap mendorong percepatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagai strategi jangka panjang menekan kebutuhan subsidi.
Penurunan porsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan peningkatan kapasitas EBT diharapkan membuat biaya produksi listrik lebih efisien ke depan.
“Kita berharap semakin ke depan tuh harga teknologi di EBT makin rendah. Jadi kebutuhan akan subsidi itu juga enggak meningkat,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia bercerita bahwa pemerintah, di bawah Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, sempat menggodok skema dana kompensasi batu bara pada 2021–2022. Kala itu pengkajian hampir final. Namun, akhirnya tak membuahkan hasil konkret.
Dalam skema itu, PLN akan membeli batu bara sesuai harga pasar, sementara pengusaha batu bara diwajibkan membayar kompensasi ke lembaga pengelola semacam badan layanan umum (BLU) atau mitra instansi pengelola (MIP). Dana tersebut kemudian digunakan untuk menjaga tarif listrik tidak naik. Namun, rencana itu batal rampung.
Meski demikian, Kemenkeu menilai kebijakan DMO masih menjadi opsi paling realistis saat ini untuk menjaga stabilitas fiskal. Ketergantungan Indonesia terhadap batu bara sebagai input energi masih besar sehingga penggunaan harga pasar justru akan menambah tekanan pada APBN.
“Jadi artinya DMO buat pemerintah sementara ini cukup membuat APBN kita masih sustainable karena kebutuhan energi kita dari batu bara cukup besar, sedangkan kalau digunakan harga pasar maka pemerintah harus menambah lagi pajak dan segala macam penerimaan negara untuk menambal subsidi,” pungkasnya.