IHSG dihimpit sentimen The Fed dan pelemahan ekonomi China, ini kata analis

Ussindonesia.co.id JAKARTA. Arah pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini berada dalam posisi serba tanggung.

Pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) seharusnya menjadi kabar baik bagi aset berisiko. Namun, pada saat yang sama, ekonomi China yang terus melambat justru menciptakan tekanan baru bagi pasar saham domestik.

Head of Research KISI Sekuritas, Muhammad Wafi, menilai kombinasi dua sentimen global tersebut membuat arah IHSG bergerak dalam pola yang mixed. “Positifnya, cost of capital global turun. Negatifnya, demand komoditas dari China melemah,” jelas Wafi kepada Kontan, Jumat (12/12/2025).

Di tengah kondisi itu, sejumlah sektor diperkirakan tetap mendapat angin segar, terutama bank big caps, telekomunikasi dan data, serta consumer staples yang memiliki karakter defensif.

Sebaliknya, sektor komoditas seperti batu bara, logam, dan petrokimia menjadi yang paling berpotensi tertekan akibat melemahnya permintaan dari China.

IHSG Melemah dalam Sepekan, Faktor Global Jadi Penentu Arah

Untuk arus dana asing, Wafi menilai pergerakannya masih akan fluktuatif. Pemangkasan suku bunga The Fed memang membuka peluang masuknya modal asing, namun risiko capital outflow masih besar jika nada hawkish kembali muncul.

“China slowdown bikin asing lebih memilih emerging market yang defensif dan punya likuiditas kuat. Indonesia masih menarik, tetapi asing tidak akan agresif,” ujarnya.

Dalam situasi pasar yang tidak pasti ini, Wafi menyarankan investor untuk overweight sektor defensif dan memanfaatkan momentum akumulasi pada saham big caps yang valuasinya sudah turun. Ia juga menyarankan agar investor tetap menyiapkan porsi kas sekitar 20%-30% untuk mengantisipasi volatilitas. “Hindari mengejar saham yang sudah naik terlalu tinggi,” katanya.

Adapun saham yang masih menarik menurut Wafi meliputi BMRI dengan target harga Rp 5.100, BBNI pada Rp 5.000, dan TOWR pada Rp 615.

Untuk sektor komoditas, ia menyarankan fokus pada emiten berbiaya produksi rendah. Risiko utama yang perlu diwaspadai mencakup revisi outlook China, potensi The Fed kembali hawkish, serta volatilitas rupiah.