
Ussindonesia.co.id JAKARTA — Sejumlah saham dari emiten yang akan melakukan aksi korporasi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue terpantau melonjak.
Beberapa di antaranya seperti saham PT Cakra Buana Resources Energi Tbk. (CBRE), PT Folago Global Nusantara Tbk. (IRSX), hingga PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk. (INET) terpantau melesat hingga puluhan kali lipat.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), harga saham CBRE telah melambung 5.718,79% atau lebih dari 50 kali lipat sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd). Lonjakan saham CBRE itu terjadi menyusul aksi rights issue yang akan dieksekusi emiten jasa pelayaran tersebut sebanyak-banyaknya 48 miliar saham.
Selanjutnya, harga saham IRSX terbang 2.125,81% atau lebih dari 20 kali lipat ytd. IRSX akan melakukan rights issue dengan menerbitkan sebanyak 12,39 miliar saham.
: OJK Optimistis 2026 Jadi Tahun Ramai IPO dan Rights Issue
Saham INET juga meroket 1.356,9% ytd seiring dengan rencana perseroan rights issue jumbo senilai maksimal Rp3,2 triliun. Dalam aksi rights issue tersebut, INET menerbitkan sebanyak-banyaknya 12,8 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp250 per saham.
Kemudian, saham PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) melonjak 782,93% ytd. WIFI melakukan rights issue dengan menerbitkan 2,95 miliar saham baru dan mengumpulkan dana senilai Rp5,9 triliun.
Saham lainnya yang juga melonjak di tengah aksi rights issue yaitu PT Sanurhasta Mitra Tbk. (MINA) naik 938,30%, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk. (GMFI) naik 175,51%, dan PT MD Entertainment Tbk. (FILM) naik 201,37%.
Mengacu data BEI, sepanjang 2025, telah terdapat 12 emiten yang menerbitkan rights issue pada 2025 dengan total nilai yang dihimpun mencapai Rp17,5 triliun.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) David Kurniawan mengatakan secara umum rights issue digunakan untuk ekspansi bisnis, bukan sekadar aksi korporasi. Dengan demikian, terdapat optimisme dari para pemegang saham terhadap emiten yang melakukan aksi korporasi tersebut.
“Rights issue bisa memperkuat neraca keuangan. Ekspektasi publik dan narasi pertumbuhan pun memicu re-rating saham,” kata David kepada Bisnis pada Jumat (12/12/2025).
Pada 2026, diperkirakan terdapat dorongan aksi rights issue yang akan lebih semarak. Sentimen yang akan memengaruhi di antaranya suku bunga global dan arah The Fed.
Selain itu, terdapat dorongan semaraknya aksi rights issue dari stabilitas indeks harga saham gabungan (IHSG) dan arus modal asing. Kinerja emiten dan narasi pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi perhatian.
Menurutnya, terdapat sejumlah sektor yang berpotensi ramai menggelar rights issue pada 2026, di antaranya sektor digital dan telekomunikasi. Hal ini seiring dengan kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex) yang besar.
Sektor transportasi dan aviasi pun diproyeksikan ramai menggelar aksi rights issue pada 2026 seiring dengan aksi konsolidasi, pemulihan, dan restrukturisasi.
Kemudian, sektor energi dan infrastruktur didorong oleh proyek jangka panjang. Lalu, sektor properti yang sebelumnya delay karena pasar belum kondusif, kemungkinan akan kembali mempertimbangkan aksi korporasi pada 2026.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo pun mengatakan aksi korporasi berupa rights issue dilakukan karena memang adanya ekspansi yang dilakukan oleh emiten. Dengan begitu, aksi korporasi akan berdampak ke kinerja ke depannya.
“Aksi korporasi ini bisa jadi katalis positif dan pelaku pasar sudah melakukan priced in,” ujar Azis pada Jumat (12/12/2025).
Dia mengatakan aksi korporasi berupa rights issue pada 2026 berpotensi semarak mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan tumbuh yang kemudian mendorong aksi ekspansi.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.