Ussindonesia.co.id JAKARTA. Triliunan dana asing baru-baru ini dilaporkan mengalir keluar dari pasar keuangan Indonesia pada akhir Juli lalu. Pergeseran signifikan ini telah mendorong investor untuk mengalihkan portofolio mereka ke aset lain yang menawarkan profil risiko lebih rendah, mencerminkan adanya perubahan preferensi dalam lanskap investasi global.
Menanggapi fenomena ini, Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menjelaskan bahwa hengkangnya dana asing dari pasar domestik adalah indikasi jelas bahwa sebagian investor asing kini memandang pasar lain sebagai tujuan yang lebih menarik. David menyoroti kecenderungan investor untuk beralih ke mata uang utama seperti euro, yen Jepang, yuan China, dan dolar Hong Kong. Mata uang-mata uang ini secara konsisten mencatatkan penguatan terhadap dolar AS sepanjang tahun berjalan, menjadikannya pilihan yang lebih stabil di tengah ketidakpastian pasar.
Selain mata uang, aset safe haven lainnya, seperti emas, juga berhasil menarik minat besar dari investor. David menambahkan, harga emas telah menunjukkan kenaikan impresif sebesar 27,8% year-to-date dalam dolar AS, menegaskan perannya sebagai pelindung nilai di kala volatilitas pasar meningkat. Pilihan-pilihan ini menunjukkan kehati-hatian investor dalam mengamankan modal mereka.
Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, turut mengamati arah aliran dana asing pasca-jual bersih besar-besaran ini. Menurut Rizal, sebagian besar dana kini cenderung mengarah pada aset dengan profil risiko yang lebih rendah, imbal hasil yang lebih stabil, serta fundamental yang lebih solid. Ini mencerminkan pencarian akan keamanan dan prediktabilitas dalam investasi mereka.
Dalam konteks ini, Rizal memandang obligasi Treasury Amerika Serikat atau US Treasury sebagai tujuan utama bagi para investor. Alasan utamanya adalah tingginya likuiditas yang ditawarkan oleh US Treasury serta kemampuannya untuk memberikan perlindungan yang signifikan terhadap ketidakpastian global. Keandalan US Treasury menjadikannya pilihan favorit bagi mereka yang mencari stabilitas jangka panjang.
Tak hanya itu, emerging markets yang menawarkan kombinasi suku bunga tinggi, stabilitas politik, serta prospek pertumbuhan ekonomi yang tangguh juga menjadi incaran investor. Rizal menyebutkan negara-negara seperti India, Brasil, dan Meksiko kini menjelma menjadi magnet baru bagi dana asing, berkat daya tarik fundamental ekonomi mereka yang kuat dan kebijakan yang mendukung investasi.
Lebih lanjut, sebagian dana asing kini dilaporkan berpindah ke sektor-sektor strategis yang berbasis teknologi, energi hijau, atau infrastruktur digital. Pergeseran ini terutama terjadi di negara-negara yang dinilai memiliki ekosistem investasi yang progresif dan mudah diprediksi, memberikan peluang pertumbuhan jangka panjang yang menjanjikan bagi para investor.
Menariknya, sebagian dana juga mulai bergerak ke negara-negara penghasil komoditas utama yang saat ini diuntungkan oleh kenaikan harga global. Namun, ironisnya, Indonesia yang sebelumnya termasuk dalam jalur arus dana berbasis komoditas, kini mulai terpinggirkan. Rizal menjelaskan bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan hilirisasi serta konflik regulasi antara pemerintah pusat dan daerah. Faktor-faktor ini secara signifikan menyulitkan kalkulasi risiko bagi investor jangka menengah hingga panjang, membuat Indonesia kehilangan daya saingnya.
Sebagai informasi tambahan, data rinci dari Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi skala penarikan dana asing tersebut. Pada transaksi periode 28–30 Juli 2025, nonresiden tercatat melakukan jual bersih di pasar saham sebesar Rp 2,27 triliun, di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1,37 triliun, dan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 12,6 triliun. Angka-angka ini mempertegas tren keluarnya dana asing dari pasar keuangan Indonesia yang tengah berlangsung.