Arah suku bunga The Fed bayangi kinerja emiten farmasi KAEF, KLBF cs 2026

Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Keputusan suku bunga bank sentral AS (The Fed) dinilai bakal menjadi salah satu penentu arah kinerja emiten farmasi Tanah Air pada tahun mendatang. Pasalnya, hampir sebagian besar industri farmasi Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku.

Head of Research KISI Sekuritas Muhammad Wafi menilai bahwa hampir 80–90% dari perusahaan farmasi Tanah Air membutuhkan impor untuk memenuhi produksi di dalam negeri. Dengan begitu, emiten farmasi Tanah Air sangat bergantung pada posisi rupiah terhadap dolar AS.

PT Kimia Farma Tbk. (KAEF) misalnya mencatatkan selisih kurs mata uang asing senilai Rp1,64 miliar sepanjang 9 bulan 2025. Posisi itu menyusut lantaran KAEF berusaha merampingkan portofolio produk perseroan. Begitu juga dengan PT Indofarma Tbk. (INAF) yang membukukan kerugian senilai Rp1,56 miliar terhadap kurs mata uang asing.

: Fluktuasi Rupiah Bayangi Prospek Emiten Farmasi KAEF, KLBF Cs di 2026

“Risiko utama [emiten farmasi] kurs rupiah. Keputusan The Fed tanggal 10 [Desember 2025] penting. Kalau The Fed memangkas suku bunga atau dovish, dolar AS bakal melemah dan sentimennya positif ke emiten farmasi. Tapi kalau hawkish, farmasi akan kena lagi,” katanya kepada Bisnis, Selasa (9/12/2025).

Adapun berdasarkan data Trading Economics, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun berjalan 2025 telah naik 2,93% ke posisi Rp16.676,5 per dolar AS pada perdagangan hari ini, Selasa (9/12/2025).

: : Rugi KAEF-INAF Kian Susut, Momen Titik Balik Emiten Farmasi BUMN?

Sementara itu, sejumlah ekonom memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal berada di level Rp16.500 pada 2026. Sementara Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mengeluarkan estimasi yang berbeda terhadap rupiah tahun depan, masing-masing pada rentang Rp16.000–16.500 per dolar AS dan Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS.

Meskipun begitu, memasuki 2026 Wafi menilai bahwa sentimen terhadap emiten farmasi Tanah Air cenderung mixed. Artinya, terdapat katalis penguatan dari permintaan layanan kesehatan, perbaikan proses klaim BPJS, serta peluang insentif kesehatan yang berpotensi membantu kinerja top line perseroan.

: : Kimia Farma (KAEF): Obat Generik Jadi Motor Pertumbuhan Industri Farmasi

Namun, selain fluktuasi kurs, persaingan OTC [over the counter] dan vitamin yang kian sengit, pemulihan permintaan yang belum merata, atau cashflow BPJS yang cenderung terlambat menjadi tantangan lainnya bagi emiten farmasi pada 2026.

“Beberapa emiten yang mempunyai porsi produk domestik yang tinggi dan lini OTC cenderung lebih tahan banting,” katanya.

Senada, Retail Research Analyst Sinarmas Sekuritas Cindy Alicia menilai, sebanyak kurang lebih 90% emiten farmasi Tanah Air masih cukup bergantung pada impor bahan baku obat. Dengan begitu, fluktuasi kurs rupiah di tahun mendatang berpotensi menekan kinerja emiten ini pada 2026.

Belum lagi, melemahnya daya beli masyarakat juga mempersempit ruang emiten farmasi untuk melakukan penyesuaian harga atas membengkaknya harga impor bahan baku akibat fluktuasi rupiah.

“Fluktuasi rupiah tetap menjadi sumber tekanan terbesar bagi emiten farmasi memasuki 2026, sementara ruang perusahaan untuk melakukan penyesuaian harga semakin sempit, dibebani kondisi melemahnya konsumsi domestik,” kata Cindy kepada Bisnis, Selasa (9/12/2025).

Meskipun begitu, Cindy menilai bahwa kebijakan pemerintah terhadap penggunaan BPJS masih menjadi salah satu tenaga penguat kinerja emiten farmasi pada 2026. Menurutnya, industri kesehatan pada tahun mendatang tengah mencerminkan pemulihan lantaran kebijakan tersebut.

“Dari segi industrinya untuk tahun depan berpotensi mengindikasikan pemulihan, dimana industri kesehatan pada tahun 2026 akan menjadi salah satu fokus dari pemerintah, salah satunya rencana perluasan produk kesehatan yang akan tercover BPJS,” katanya.

Di tengah kondisi ini, KISI merekomendasikan PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) lantaran balance sheet dan permintaan yang cenderung kuat. Sementara itu, KAEF dan INAF dinilai memiliki risiko yang tinggi karena volatilitas margin. Terakhir, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO) direkomendasikan lantaran defensif untuk jangka panjang karena porsi bahan baku impor yang rendah.

Sementara itu, Sinarmas merekomendasikan trading jangka pendek untuk saham PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO), dan KLBF.

“Beberapa emiten masih dalam tren bearish dan bisa memanfaatkan technical rebound sesaat,” katanya.

______

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.