Buyback Bank Mandiri dinilai minim risiko, berdampak pada stabilitas saham

Ussindonesia.co.id – , JAKARTA — Langkah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang akan melakukan aksi korporasi pembelian kembali saham (buyback) senilai Rp 1,17 triliun dinilai memiliki tujuan utama menjaga kepercayaan pasar di tengah volatilitas harga saham perbankan. Aksi tersebut dipandang sebagai sinyal positif bagi investor bahwa Bank Mandiri tetap menjadi pilihan investasi yang menarik.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas PGRI Semarang, Heri Prabowo, menilai langkah buyback Bank Mandiri tergolong konservatif dan lebih menekankan aspek psikologis ketimbang fundamental. “Tujuan utama buyback bukan semata memperbaiki kinerja keuangan, tetapi memberi sinyal ke pasar bahwa manajemen berkomitmen menjaga stabilitas harga saham dan keyakinan investor,” ujarnya, Jumat (5/12/2025).

Menurut Heri, aksi buyback umumnya dilakukan perusahaan ketika merasa valuasi sahamnya berada di bawah nilai intrinsik. Dengan menggunakan kas internal, manajemen ingin menunjukkan kepercayaan bahwa saham Bank Mandiri masih undervalued dan prospek bisnis ke depan tetap solid.

“Ini juga bagian dari strategi untuk menyeimbangkan kondisi pasar dan menunjukkan kepercayaan diri manajemen terhadap fundamental perusahaan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Heri menambahkan bahwa aksi buyback berpotensi meningkatkan laba per saham (earning per share/EPS) melalui pengurangan jumlah saham beredar. “Buyback bisa memperbaiki rasio keuangan, terutama EPS, sehingga valuasi saham menjadi lebih menarik di mata investor,” kata Heri.

   

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa buyback bukan tanpa tantangan. Penggunaan dana yang terlalu besar dapat mengurangi fleksibilitas perusahaan dalam melakukan ekspansi atau investasi baru. “Kalau buyback dilakukan hanya untuk mempercantik citra tanpa disertai perbaikan fundamental, justru bisa mengecewakan pasar,” tegasnya.

Heri juga menyoroti pandangan sebagian pihak yang menilai buyback berisiko mengurangi likuiditas saham di pasar dan berpotensi merugikan pemegang saham minoritas. Meski begitu, dari sisi fundamental, Bank Mandiri dinilai masih memiliki kinerja yang kuat. Hingga akhir September 2025, pertumbuhan kredit tercatat sekitar 11 persen year on year, sementara total aset konsolidasinya naik 10,3 persen menjadi sekitar Rp 2.563 triliun.

Meski profitabilitas sempat tertekan—dengan laba bersih turun 10,3 persen dan rasio cost to income meningkat akibat biaya operasional—kualitas aset Bank Mandiri tetap terjaga dengan rasio kredit bermasalah (NPL Gross) hanya sekitar 1,03 persen dan rasio permodalan di atas 20 persen. Kondisi tersebut memberi ruang bagi manajemen untuk melaksanakan buyback tanpa mengganggu ekspansi bisnis.

“Dari sisi nominal, nilai buyback Rp 1,17 triliun masih relatif kecil, hanya sekitar 0,27 persen dari kapitalisasi pasar dan 0,65 persen dari laba bersih tahunan. Secara finansial aman, tapi dampaknya terhadap harga saham mungkin belum signifikan,” jelas Heri.

Ia memperkirakan efek buyback akan terasa lebih kuat jika nilainya mencapai 1–2 persen dari kapitalisasi pasar, atau sekitar Rp 2,5–3 triliun. “Meski demikian, langkah tersebut tetap penting secara psikologis untuk meredam tekanan jual dan menjaga kepercayaan investor di tengah ketidakpastian ekonomi global,” tutupnya.