Ussindonesia.co.id – JAKARTA. Dalam setahun terakhir, pasar keuangan global dikejutkan dengan lonjakan signifikan pada harga emas dan sejumlah aset kripto terkemuka. Analis memprediksi bahwa momentum kenaikan ini belum akan berhenti, justru membuka peluang lebih besar untuk keberlanjutan reli yang menguntungkan para investor.
Mengutip data dari Trading Economics, harga emas spot tercatat mencapai US$4.250 per troi ons pada penutupan perdagangan Jumat, 17 Oktober 2025. Angka ini merepresentasikan peningkatan sebesar 56,19% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, sebuah performa yang luar biasa di tengah gejolak pasar.
Menurut pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, dinamika harga emas sepanjang tahun ini sangat dipengaruhi oleh sentimen perang dagang. Sejak kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump secara agresif memulai kembali narasi perang dagang, dengan tujuan mengatasi defisit neraca dagang AS yang berlangsung lama. Selain itu, perbedaan pandangan antara Trump dan Ketua The Fed, Jerome Powell, mengenai kebijakan penurunan suku bunga juga disebut turut memicu kenaikan harga emas ini.
“Permintaan emas juga tinggi dari bank sentral yang mencari logam mulia sebagai cadangan devisa,” ujar Ibrahim saat dihubungi Kontan pada Jumat, 17 Oktober 2025, menegaskan peran emas sebagai aset lindung nilai.
Perhatikan Strategi Investasi Emas Saat Harga Sedang Tinggi
Ibrahim lebih lanjut menguraikan bahwa di pasar domestik, harga emas Antam yang sekitar 10 bulan lalu masih berada di kisaran Rp1.700.000 per gram, kini telah melonjak hingga Rp2.482.000 per gram. Meskipun demikian, ia memperkirakan potensi koreksi jangka pendek mungkin terjadi, namun diikuti oleh penguatan kembali. Kenaikan harga emas juga dipicu oleh ancaman Trump yang akan memberlakukan bea impor hingga 100% pada produk China mulai 1 November mendatang, yang langsung dibalas oleh China dengan ancaman kenaikan tarif pelabuhan bagi kapal-kapal AS.
Melihat kondisi ini, Ibrahim menyarankan para investor untuk mempertimbangkan emas sebagai aset jangka panjang. Prospek harga emas diprediksi akan terus meningkat, didukung oleh sentimen global yang kuat. “Saya melihat ada peluang harga emas Antam bisa naik ke Rp3 juta per gram sangat mungkin tercapai bulan ini,” tambahnya penuh keyakinan.
Tak hanya emas, performa aset kripto utama seperti Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH), dan Solana (SOL) juga mencatatkan kinerja yang impresif sepanjang tahun terakhir, menunjukkan vitalitas di tengah kompleksitas pasar global.
Berdasarkan data CoinMarketCap pada akhir perdagangan Jumat, 17 Oktober 2025, harga Bitcoin telah melonjak sekitar 56,35% secara year-on-year, dari US$69.002 menjadi US$106.892. Sementara itu, Ethereum mengalami peningkatan 47,11% dari US$2.648 menjadi US$3.887, dan Solana tumbuh 20,22% dari US$159 menjadi US$185. Lonjakan ini menandai kebangkitan sentimen positif di pasar kripto setelah periode konsolidasi yang panjang pada tahun 2022–2023.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, kepada Kontan pada Minggu, 19 Oktober 2025, menjelaskan bahwa salah satu pendorong utama pertumbuhan ini adalah masifnya arus dana ke produk ETF kripto, khususnya ETF Bitcoin spot yang telah mendapat persetujuan di berbagai yurisdiksi. Sepanjang tahun 2025, produk ETF global mencatatkan total inflow hampir US$6 miliar, dengan Bitcoin menyumbang sekitar US$3,5 miliar, diikuti oleh Ethereum dan Solana. Fenomena ini mengindikasikan peningkatan kepercayaan dari investor institusional terhadap kripto sebagai aset digital yang sah dan terukur, kini dengan akses investasi yang lebih mudah melalui instrumen reguler seperti ETF.
Selain faktor ETF, kondisi makroekonomi global juga memberikan dorongan signifikan pada harga aset digital. Ekspektasi penurunan suku bunga acuan di sejumlah negara maju, termasuk Amerika Serikat, membuat para investor kembali melirik aset berisiko seperti kripto. Fyqieh menambahkan, “Dalam konteks inflasi yang masih tinggi dan pelemahan dolar AS, sebagian besar investor memposisikan Bitcoin sebagai alternatif penyimpan nilai (store of value), mirip dengan emas digital.”
Bitcoin Butuh Pemicu Baru untuk Hindari Koreksi Lebih Dalam
Fahmi Almuttaqin, seorang Analis dari Reku, menyoroti korelasi historis antara kinerja Bitcoin dan ketersediaan likuiditas global. Ia menjelaskan bahwa saat suku bunga menurun tanpa ekspansi neraca The Fed, harga Bitcoin cenderung tertahan karena aliran dolar ke pasar aset berisiko belum mengalir optimal, meskipun kondisi keseluruhan pasar masih cenderung bullish. Namun, Fahmi memprediksi bahwa The Fed berpotensi melonggarkan kebijakan moneternya jika tekanan pendanaan semakin berat. “Jika langkah itu benar terjadi, Bitcoin berpotensi rebound ke kisaran US$120.000 – US$130.000 di sisa tahun ini, selama data inflasi dan kondisi sistem keuangan mendukung,” kata Fahmi pada Jumat, 17 Oktober 2025.
Untuk investor jangka panjang, Fahmi menyarankan untuk memanfaatkan momentum pelemahan yang ada guna mengakumulasi aset kripto dengan fundamental kuat atau yang dikenal sebagai crypto blue chip, seperti Bitcoin dan Ethereum. Ia menekankan pentingnya mengoptimalkan strategi Dollar Cost Averaging (DCA). “Strategi DCA ini masih sangat relevan dijalankan, terutama mengingat potensi terciptanya level harga tertinggi baru bagi Bitcoin dan Ethereum masih cukup terbuka lebar jika pelonggaran moneter AS benar-benar terwujud,” pungkasnya.