Kabar baik, BI perpanjang keringanan bayar tagihan kartu kredit hingga Juni 2026

Bank Indonesia (BI) memperpanjang kebijakan keringanan pembayaran tagihan kartu kredit, denda kartu kredit, dan tarif rendah untuk Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) hingga 30 Juni 2026.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan keringanan perpanjangan tersebut mencakup dua aspek utama. Pertama, keringanan bagi pemegang kartu kredit berupa batas minimum pembayaran dan denda keterlambatan. Kedua, kelanjutan tarif murah SKNBI untuk menjaga efisiensi biaya transaksi di perbankan.

“Meliputi kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit (sebesar) 5 persen dari total tagihan, dan kebijakan nilai denda keterlambatan sebesar maksimum 1 persen dari total tagihan tidak melebihi Rp100.000,” jelas Perry saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (17/12).

“Dan tarif SKNBI sebesar Rp 1 dari Bank Indonesia ke bank dan tarif SKNBI maksimum Rp2.900 dari bank ke nasabah,” kata

Kebijakan ini diharapkan membantu masyarakat mengelola arus kas dengan lebih longgar, sekaligus menekan biaya transaksi antarbank agar aktivitas ekonomi tetap bergulir.

Kredit Perbankan Tumbuh

Hingga November 2025 Bank Indonesia mencatat kredit perbankan tumbuh 7,74 persen secara tahunan (year on year/yoy), meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 7,36 persen (yoy).

BI mencatat sikap wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat menjadi faktor penahan permintaan.

Kondisi ini tercermin dari masih besarnya fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) yang mencapai Rp 2.509,4 triliun atau 23,18 persen dari total plafon kredit.

Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan perbankan justru sangat memadai. Likuiditas bank tetap kuat dengan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 29,67 persen, sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 12,03 persen (yoy) pada November 2025.

Kondisi ini didukung ekspansi likuiditas moneter BI, pelonggaran kebijakan makroprudensial, serta ekspansi keuangan pemerintah, termasuk penempatan dana pemerintah di sejumlah bank besar.

Minat penyaluran kredit perbankan secara umum juga masih terjaga, tercermin dari persyaratan pemberian kredit yang semakin longgar.

Namun, BI mencatat adanya kehati-hatian lebih tinggi pada segmen kredit konsumsi dan UMKM seiring meningkatnya risiko kredit. Dampaknya, kredit UMKM pada November 2025 justru terkontraksi 0,64 persen (yoy).

Dengan perkembangan tersebut, BI memperkirakan pertumbuhan kredit sepanjang 2025 berada di batas bawah kisaran 8–11 persen (yoy) dan berpotensi meningkat pada 2026.

Ke depan, koordinasi dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus diperkuat untuk mendorong pertumbuhan kredit sekaligus memperbaiki struktur suku bunga.

Perbankan Tetap Tangguh

Di tengah dorongan stimulus dan pelonggaran kebijakan, BI menegaskan ketahanan sektor perbankan nasional tetap solid. Dari sisi permodalan, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Oktober 2025 meningkat menjadi 26,38 persen, menunjukkan kemampuan perbankan menyerap risiko tetap sangat kuat.

Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan secara agregat juga terjaga rendah, masing-masing 2,25 persen secara bruto dan 0,90 persen secara netto.

Meski demikian, BI mencatat NPL UMKM masih relatif tinggi, yakni 4,50 persen pada November 2025, sehingga memerlukan perhatian berkelanjutan.

Hasil stress test BI menunjukkan ketahanan perbankan tetap kuat, ditopang kemampuan bayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga. Ke depan, BI bersama KSSK akan terus memperkuat sinergi kebijakan guna memitigasi berbagai risiko ekonomi global dan domestik yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.