Ussindonesia.co.id JAKARTA. Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (10/10/2025) menjadi hari yang kurang menggembirakan bagi saham-saham perbankan berkapitalisasi besar, atau yang sering disebut bank jumbo. Setelah sempat menunjukkan kenaikan signifikan sehari sebelumnya, empat bank terbesar Tanah Air kompak terkoreksi tajam.
Penurunan ini mencerminkan dinamika pasar yang cepat berubah. Berdasarkan data dari Stockbit, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat melemah 1,99% dan ditutup pada level Rp 7.400 per saham. Pembukaan perdagangan sempat berada di angka Rp 7.450, dan dalam sepekan terakhir, saham BBCA telah susut 1,66%.
Tak hanya BBCA, saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mengalami koreksi substansial, anjlok 3,17% ke posisi Rp 3.970 per saham. Saat pembukaan, saham BBNI sempat bergerak di zona merah pada level Rp 4.090, dan akumulasi pelemahan selama sepekan terakhir mencapai 1,73%.
Kondisi serupa dialami PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang ditutup merosot 3,19% ke Rp 4.250. Menariknya, saham BMRI sempat dibuka “menghijau” atau menguat pada level Rp 4.410 per saham, sebelum akhirnya berbalik arah. Dalam sepekan, saham BMRI tercatat menurun 1,39%.
Peluang Bank Devisa di Tengah Surplus Neraca Dagang
Pelemahan terdalam di antara bank-bank jumbo dicatat oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). Pada penutupan perdagangan hari ini, saham BBRI terjun 3,37% ke level Rp 3.730 per saham. Bahkan, pada pembukaan bursa, saham BBRI sudah langsung memerah di level Rp 3.790, dengan penurunan 1,58% selama sepekan terakhir.
Menanggapi fenomena ini, Praktisi Pasar Modal sekaligus Founder WH-Project, William Hartanto, menjelaskan bahwa sempat terjadinya rebound pada saham perbankan hanyalah efek sementara dari pernyataan Menteri Keuangan mengenai pemberantasan saham gorengan. “Ini bukan berarti jadi alasan mengapa harus langsung rebound ke saham-saham itu, jadi bisa dikatakan hanya karena respons yang terlalu cepat saja dan sekarang kembali ke tren asalnya,” ujarnya kepada kontan.co.id pada Jumat (10/10).
Lebih lanjut, William menilai bahwa sejak awal tahun, investor asing memang cenderung keluar dari saham perbankan. Fenomena ini didorong oleh pergeseran minat investasi mereka ke sektor atau saham-saham baru yang lebih menarik. Mengingat kondisi tersebut, William menyarankan para investor untuk mengambil sikap wait and see terhadap saham-saham perbankan.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Achmad Yaki, Head of Online Trading BCA Sekuritas. Menurutnya, pelemahan saham perbankan yang terjadi sejak awal Oktober 2025 dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu yang paling menonjol adalah aksi jual investor asing yang terus berlanjut di pasar modal Indonesia.
Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai potensi penurunan kualitas aset perbankan, yang memaksa bank-bank besar seperti BBRI dan BBCA untuk meningkatkan biaya pencadangan atau biaya provisi guna mengantisipasi kemungkinan kredit macet. Kenaikan biaya ini berpotensi menekan laba bersih bank. Faktor lain yang turut berkontribusi adalah ketatnya likuiditas, yang terlihat dari rasio LDR (Loan to Deposit Ratio) yang meningkat, berisiko meningkatkan biaya dana (cost of fund), serta proyeksi perlambatan pertumbuhan kredit secara keseluruhan.
Meskipun demikian, Achmad Yaki tetap memberikan rekomendasi positif untuk sebagian besar bank besar. Ia merekomendasikan “buy” untuk saham-saham bank jumbo, kecuali BBRI yang cenderung “hold” dengan target harga Rp 4.400. Untuk BBNI, rekomendasinya adalah “buy” dengan target Rp 6.075, sementara BMRI direkomendasikan “buy” dengan target Rp 7.250. Terakhir, BBCA mendapatkan rekomendasi “trading buy” dengan target harga Rp 8.400 per saham.
Simak Rekomendasi Teknikal Mirae Sekuritas untuk BSDE, ADHI & AKSI, Jumat (10/10)