JAKARTA – Saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) menunjukkan performa yang sangat impresif di lantai bursa, melesat kencang setelah perseroan secara resmi mengumumkan rencana aksi korporasi strategis. Yaitu, pemisahan tidak murni atau spin-off sebagian bisnis dan aset wholesale fiber connectivity ke anak usahanya, PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF), dengan nilai transaksi fantastis mencapai Rp35,78 triliun.
Pergerakan harga saham TLKM pada perdagangan Selasa (21/10/2025) pukul 14.00 WIB sangat mencuri perhatian. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, saham emiten telekomunikasi pelat merah ini melonjak signifikan sebesar 290 poin atau 9,86% ke level Rp3.230. Sepanjang hari itu, saham TLKM bergerak dalam rentang harga Rp2.970 hingga Rp3.270 per saham, menunjukkan minat beli yang tinggi dari para investor.
Kenaikan ini bukan tanpa alasan, mengingat reli positif saham Telkom telah berlanjut sejak perdagangan Senin (20/10/2025) yang juga menguat 2,08% ke level Rp2.940 per saham. Secara akumulatif, sepanjang tahun berjalan 2025, saham TLKM sudah menguat impresif sebesar 19,18% dari posisi Rp2.710 pada akhir tahun 2024. Momentum positif ini mengindikasikan kepercayaan pasar terhadap prospek perusahaan pasca-pengumuman spin-off.
SVP Corporate Secretary Telkom Indonesia, Jati Widagdo, menjelaskan bahwa transaksi penting ini dirancang untuk menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi perusahaan. Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengoptimalkan pemanfaatan aset jaringan fiber optik milik perseroan yang tersebar luas.
Aksi korporasi ini tidak hanya berorientasi pada peningkatan kinerja internal, tetapi juga diharapkan dapat memperkuat posisi TLKM sebagai penyedia infrastruktur konektivitas utama di Indonesia. Dengan fokus yang lebih jelas pada bisnis inti, Telkom berambisi menjadi tulang punggung utama dalam ekosistem digital nasional.
“Rencana transaksi ini juga mendukung agenda nasional dalam mempercepat pemerataan digitalisasi, meningkatkan penetrasi fixed broadband, serta memastikan ketersediaan konektivitas yang andal dan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Jati dalam keterbukaan informasi yang dirilis pada Senin (20/10/2025), menegaskan komitmen Telkom terhadap pembangunan infrastruktur digital di Tanah Air.
Berdasarkan perjanjian spin-off, nilai transaksi secara detail mencapai Rp35.787.258.000.000 atau disederhanakan menjadi Rp35,78 triliun. Meskipun demikian, TLKM akan tetap menjadi pemegang saham mayoritas di TIF dengan kepemilikan sebesar 99,99%, memastikan kontrol penuh terhadap anak usahanya yang baru fokus pada infrastruktur.
Jati Widagdo menambahkan bahwa aksi korporasi ini tergolong sebagai transaksi material sesuai dengan POJK No.17/2020 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha. Selain itu, transaksi ini juga merupakan transaksi afiliasi berdasarkan POJK No.42/2020. Namun, Telkom memastikan bahwa tidak terdapat benturan kepentingan dalam transaksi ini. Mengingat TIF merupakan anak usaha yang dikonsolidasi, perseroan menilai bahwa tidak akan ada dampak signifikan terhadap kondisi keuangan konsolidasi Telkom.
Menurut presentasi perseroan pada semester I/2025, manajemen TLKM menjelaskan bahwa rencana pelepasan bisnis kabel optik ke anak usaha PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF) atau dikenal juga sebagai Infranexia, akan dilaksanakan dalam dua tahap utama.
Tahap pertama, yang diperkirakan akan berlangsung pada kuartal IV/2025, melibatkan pelepasan lebih dari 50% aset fiber optik TLKM beserta bisnis terkaitnya ke TIF. Selanjutnya, tahap kedua, yang diproyeksikan pada semester II/2026, akan menjadi proses pemindahan aset secara penuh ke TIF. Saat ini, perseroan juga tengah menjajaki strategi kemitraan untuk membesarkan bisnis Fiber Co tersebut, sembari menyiapkan proses pemindahan aset dan karyawan secara menyeluruh.
Empat tujuan utama yang ingin dicapai TLKM melalui strategi ini adalah mengoptimalkan aset fiber optik yang dimiliki, membangun kemitraan strategis guna membuka peluang ekspansi yang lebih luas, meningkatkan daya saing bisnis di pasar, serta mendorong ekspansi baik secara organik maupun anorganik.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Telkom, Angelo Syailendra, dalam sebuah media briefing di Jakarta pada Agustus 2025, menyampaikan kesiapan TIF. “Secara resmi spin-off kita lakukan Desember 2023, tapi aset belum ditransfer, manajemen sudah diberikan. Jadi nanti ketiban aset sudah enggak kaget, siap lari,” ujarnya, menandakan bahwa persiapan manajerial telah dilakukan jauh hari sebelum transfer aset fisik.
Rekomendasi Saham TLKM
Di tengah dinamika ini, para analis pasar modal turut memberikan pandangan dan rekomendasi mereka terkait saham TLKM. Tim Analis JP Morgan Sekuritas menyematkan peringkat netral untuk saham TLKM dengan target harga Rp3.000 per saham.
“Kami yakin TLKM memiliki keunggulan kompetitif struktural dengan operasinya yang terintegrasi, keunggulan signifikan dalam layanan mobile broadband, dan jaringan fixed-line yang lebih komprehensif. Meningkatnya penetrasi pita lebar tetap mendukung potensi pertumbuhan layanan fixed-line,” tulis mereka dalam riset terbaru, menyoroti kekuatan fundamental Telkom.
Namun, lingkungan yang kompetitif di industri telekomunikasi serta rencana aksi korporasi Telkom diproyeksikan dapat membebani pendapatan dan laba dalam jangka pendek mendatang.
Beberapa katalis positif yang membayangi prospek TLKM di antaranya adalah potensi kenaikan pangsa pasar, konsolidasi industri telekomunikasi yang dapat meningkatkan pricing power operator, akselerasi adopsi fixed-broadband, restrukturisasi IndiHome, hingga penurunan suku bunga acuan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya beli.
Di sisi lain, TLKM juga dibayangi oleh beberapa risiko. Ini termasuk belanja modal (capex) yang berpotensi meningkat dalam jangka menengah, penurunan bisnis legasi yang lebih tinggi dari ekspektasi, perubahan regulasi yang tidak menguntungkan, hingga kenaikan risk premium Indonesia yang dapat mempengaruhi sentimen investor.
Berdasarkan konsensus analis Bloomberg, sentimen terhadap saham TLKM cukup positif, dengan sebanyak 31 analis merekomendasikan “beli” dan 12 analis menyematkan peringkat “hold“. Rerata target harga saham TLKM dalam 12 bulan ke depan, berdasarkan konsensus analis, berada di level Rp3.524 per saham.
Secara lebih spesifik, beberapa analis juga telah merilis rekomendasinya. Analis CGS International, Bob Setiadi, merekomendasikan “add” untuk TLKM dengan target harga Rp3.400. Sementara itu, analis Citi, Arthur Pineda, dan analis Maybank Investment, Etta Rusdiana Putra, merekomendasikan “beli” untuk TLKM dengan target harga masing-masing Rp3.620 dan Rp3.700 per saham, menunjukkan keyakinan mereka terhadap potensi kenaikan harga.
Target tertinggi untuk saham TLKM disematkan oleh analis Mandiri Sekuritas, Henry Tedja, dengan target harga mencapai Rp4.000. Di sisi lain, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Daniel Widjaja, menyarankan “hold” saham TLKM dengan target harga Rp3.200 per saham, memberikan perspektif yang lebih konservatif.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
Saham PT Telkom Indonesia (TLKM) melonjak signifikan setelah mengumumkan spin-off sebagian bisnis fiber optik ke anak usahanya, PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF), dengan nilai transaksi Rp35,78 triliun. Harga saham TLKM naik 9,86% menjadi Rp3.230, mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek perusahaan pasca-spin-off, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan memperkuat posisi TLKM sebagai penyedia infrastruktur konektivitas utama.
Spin-off akan dilakukan dalam dua tahap, dimulai pada kuartal IV/2025 dan selesai pada semester II/2026. Analis memberikan rekomendasi beragam untuk saham TLKM, dengan sentimen positif didominasi rekomendasi “beli” dan target harga rata-rata Rp3.524 per saham. Meskipun demikian, investor tetap perlu mempertimbangkan risiko seperti persaingan industri dan potensi peningkatan belanja modal.