Tahun 2025 menjadi periode yang penuh gejolak bagi pasar saham global. Pada April, indeks Nasdaq dan S&P 500 ambles sekitar 20% dari puncaknya di Februari, dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap kebijakan tarif impor pemerintahan Trump. Sentimen negatif ini begitu kuat, memunculkan istilah “TACO” (Trump Always Chickens Out) seiring spekulasi bahwa Trump akan melunakkan kebijakannya. Meskipun pasar sempat pulih di bulan-bulan berikutnya, beberapa saham tetap terjebak dalam zona merah, terutama perusahaan yang sangat bergantung pada rantai pasok global, khususnya dari China dan Vietnam.
Sifat pasar saham yang proyektif menyebabkan investor memangkas valuasi emiten yang diprediksi terdampak tarif, bahkan sebelum penurunan laba secara nyata terlihat dalam laporan keuangan. Namun, dampak sebenarnya dari kebijakan tarif ini diperkirakan akan mulai terlihat jelas dalam beberapa kuartal mendatang. GOBankingRates telah mengidentifikasi empat saham perusahaan ternama yang telah merasakan tekanan tarif dan berpotensi terus melemah. Mari kita bahas satu per satu.
1. VF Corporation (VFC) Harga saham per 16 Juli 2025: 11,82 dolar AS. Kinerja YTD: -44,28 persen. Meskipun VF Corporation mungkin kurang familiar bagi sebagian besar konsumen, merek-merek di bawah naungannya seperti The North Face, Vans, dan Timberland sangat populer. Ketergantungan perusahaan ini pada pasokan bahan baku dan produksi dari China dan Vietnam, dua negara yang menjadi sasaran utama tarif impor AS, menjadikannya rentan. Meskipun kebijakan tarif sempat berubah-ubah, mengalihkan produksi dalam waktu singkat terbukti sulit, sehingga tekanan pada saham VFC terus berlanjut.
2. Best Buy (BBY) Harga saham per 16 Juli 2025: 66,85 dolar AS. Kinerja YTD: -20,00 persen. Berbeda dengan VF Corporation, Best Buy terdampak tarif bukan karena proses produksi, melainkan gangguan rantai pasok. Sebagai peritel elektronik besar, Best Buy menjual berbagai produk yang kini terkena dampak tarif, terutama dari China dan Meksiko. Dalam persaingan ritel yang ketat, menaikkan harga jual untuk menutupi biaya impor yang meningkat bukanlah pilihan mudah, sehingga margin laba Best Buy terancam, dan sahamnya kesulitan untuk pulih dalam waktu dekat.
3. Nike (NKE) Harga saham per 16 Juli 2025: 72,10 dolar AS. Kinerja YTD: -3,60 persen. Nike mengalami fluktuasi yang signifikan sepanjang 2025. Sahamnya sempat anjlok ketika kebijakan tarif diumumkan karena ketergantungan pada pabrik-pabrik di Asia. Namun, laporan keuangan positif di akhir Juni dan strategi mitigasi dampak tarif berhasil mendorong kenaikan saham. Meskipun masih mencatat penurunan sejak awal tahun, optimisme investor mulai tumbuh. Namun, laporan keuangan selanjutnya akan menjadi penentu; jika menunjukkan pelemahan akibat tarif, saham Nike berpotensi anjlok kembali. Perusahaan sendiri memperkirakan potensi kerugian hingga USD 1 miliar akibat kebijakan ini.
4. Target (TGT) Harga saham per 16 Juli 2025: 101,34 dolar AS. Kinerja YTD: -23,53 persen. Target telah berupaya mengurangi ketergantungan impor dari China, dari lebih dari 60% menjadi sekitar 30%. Namun, risiko masih ada, ditambah dengan tantangan internal seperti penurunan pelanggan, diskon besar-besaran, dan tekanan biaya operasional. Hal ini membuat Target tertinggal dari kompetitor seperti Walmart, Costco, dan Dollar General. Ditambah dengan rekomendasi negatif dari analis pasar, tekanan pada saham Target diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun.
Kesimpulannya, dampak tarif impor bukan sekadar isu kebijakan perdagangan, tetapi ancaman nyata bagi laba perusahaan dan kinerja saham. Investor perlu waspada terhadap saham-saham dengan eksposur tinggi terhadap rantai pasok global, terutama yang belum memiliki strategi yang jelas untuk mengurangi dampak negatifnya. Memahami risiko ini sangat penting dalam pengambilan keputusan investasi.
Ringkasan
Kenaikan tarif impor pada tahun 2025 berdampak negatif pada beberapa saham perusahaan ternama. Saham-saham seperti VF Corporation (VFC), Best Buy (BBY), Nike (NKE), dan Target (TGT) mengalami penurunan harga akibat gangguan rantai pasok dan peningkatan biaya produksi. Ketergantungan pada produksi dari China dan Vietnam menjadi faktor utama penurunan ini, meskipun beberapa perusahaan telah berupaya melakukan mitigasi risiko.
Penurunan harga saham ini terjadi bahkan sebelum dampak penuh dari tarif impor terlihat pada laporan keuangan perusahaan. Faktor-faktor lain seperti persaingan ketat, penurunan pelanggan, dan strategi bisnis yang kurang efektif turut memperburuk situasi. Analisis pasar memprediksi tekanan pada saham-saham ini akan berlanjut, sehingga investor perlu mempertimbangkan risiko ini dalam keputusan investasi mereka.