
Indonesia menyerukan pentingnya reformasi sistem pembiayaan global agar lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan negara berkembang pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, Jumat (22/11).
Dalam forum tersebut, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menekankan bahwa arsitektur keuangan internasional saat ini belum memberikan ruang fiskal memadai bagi negara berkembang untuk mendorong pembangunan jangka panjang.
Pada sesi pleno, Indonesia mendorong mekanisme pembiayaan yang lebih adil melalui opsi penghapusan utang, blended finance, serta dukungan pendanaan untuk transisi energi hijau. Pemerintah menilai akses pembiayaan yang setara, terjangkau, dan dapat diprediksi menjadi faktor penting dalam memperkuat ketahanan ekonomi global dan mempercepat agenda pembangunan berkelanjutan.
“Wakil Presiden menegaskan bahwa pembiayaan internasional harus lebih mudah diakses dan setara bagi negara berkembang, termasuk melalui penghapusan utang, pembiayaan inovatif, dan dukungan untuk transisi hijau,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers usai sesi hari pertama KTT G20 2025.
Baca juga:
- Di G20, Wapres Gibran Dorong Program Makan Bergizi Jadi Model Investasi Global
Selain isu pendanaan global, Indonesia mendorong G20 mempercepat pemanfaatan teknologi digital inklusif. Dalam forum, Indonesia mengangkat QRIS sebagai contoh solusi pembayaran lintas negara yang murah, sederhana, dan sudah diadopsi di berbagai negara Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan. Pemerintah menilai model interoperabilitas pembayaran serupa dapat menjadi standar global untuk memperkuat inklusi keuangan.
“Beliau juga menyoroti keberhasilan solusi digital sederhana seperti QR yang telah diadopsi berbagai negara Asia, serta mendorong dimulainya dialog G20 mengenai ekonomi kecerdasan di tengah pesatnya perkembangan teknologi keuangan,” tambah Airlangga.
Indonesia juga menekankan bahwa reformasi pembiayaan internasional harus berjalan paralel dengan tata kelola teknologi yang adaptif dan inklusif. Karena itu, pemerintah mendorong G20 memulai pembahasan formal mengenai economy of intelligence serta kerangka tata kelola kecerdasan buatan, mengingat teknologi AI semakin terintegrasi dalam sistem ekonomi dan keuangan global.