Prospek rupiah di 2026 bergantung pada The Fed, BI, dan arah suku bunga global

Ussindonesia.co.id JAKARTA. Rupiah diproyeksi masih memiliki peluang menguat seiring tren pemangkasan suku bunga global di tahun 2026 mendatang. Meski begitu, pergerakan rupiah juga sangat bergantung pada arah kebijakan Federal Reserve (The Fed) dan langkah Bank Indonesia (BI) dalam menjaga selisih suku bunga.

Sekedar mengingatkan, The Fed pada Rabu (10/12/2025) memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 bps menjadi ke kisaran 3,50%–3,75%, sesuai ekspektasi konsensus dan menandai pemangkasan suku bunga ketiga sepanjang tahun 2025.

Pemangkasan ini membawa suku bunga AS ke level terendah sejak 2022.

Ini dinilai menjadi katalis positif bagi mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah. Sebab. pelemahan indeks dolar AS (DXY) pasca pemangkasan suku bunga AS berpotensi mendorong kembali aliran modal asing (capital inflow) ke pasar emerging market.

Simak Rekomendasi Saham Pilihan yang Layak Dilirik untuk Perdagangan Hari Ini (15/12)

Namun demikian, efeknya terhadap rupiah tidak serta-merta besar. Pasalnya, jika BI turut memangkas BI-Rate, maka selisih suku bunga antara Indonesia dan AS akan menyempit.

Kondisi ini berisiko menekan daya tarik aset berdenominasi rupiah, khususnya obligasi pemerintah (SBN), di mata investor asing.

“Prospek rupiah pada tahun 2026 di tengah tren pemangkasan suku bunga acuan (cut rate) global dan domestik akan sangat dipengaruhi oleh kecepatan dan selisih (spread) dari pemotongan suku bunga tersebut,” jelas Founder Traderindo.com Wahyu Laksono kepada Kontan, Jumat (12/12/2025).

Ke depan, rupiah berpeluang menguat secara bertahap apabila The Fed bergerak lebih dovish dari ekspektasi pasar, sementara BI memilih melangkah lebih hati-hati. 

Sebaliknya, jika BI memangkas suku bunga terlalu cepat atau The Fed kembali bersikap hawkish dengan ruang pemangkasan yang terbatas pada 2026, tekanan terhadap rupiah masih berpotensi berlanjut.

Dari sisi pergerakan jangka menengah, rupiah dinilai masih sulit menguat signifikan dan cenderung defensif. Secara global, ketidakpastian arah kebijakan The Fed untuk 2026 membuat dolar AS tetap menarik sebagai aset safe haven

Imbal hasil US Treasury yang masih kompetitif serta tensi geopolitik global turut menahan arus keluar dana dari dolar AS.

Libur Nataru Bisa Dongkrak Kinerja Emiten Poultry, Cek Rekomendasi Sahamnya

Sementara dari dalam negeri, sinyal dovish BI yang membuka peluang lanjutan pemangkasan suku bunga memunculkan kekhawatiran terhadap risiko inflasi, sehingga turut menekan mata uang domestik. 

Ke depan koreksi rupiah diperkirakan Wahyu baru akan berakhir jika didorong sejumlah sentimen. 

Di antaranya, pelemahan DXY yang berkelanjutan hingga menembus level kunci, konsistensi pelemahan data ekonomi AS yang memperkuat ekspektasi kebijakan dovish The Fed, serta masuknya aliran dana asing secara signifikan ke pasar SBN dan pasar modal domestik. 

Di saat yang sama, BI juga perlu menjaga stabilitas melalui bauran kebijakan, termasuk intervensi terarah di pasar valas dan pengelolaan selisih suku bunga yang tetap menarik.

Memasuki 2026, sejumlah katalis dinilai dapat menjadi momentum penguatan Rupiah. Dari global, potensi perubahan kepemimpinan The Fed dan pelemahan dolar AS menjadi faktor utama. 

Sementara dari domestik, stabilitas politik, implementasi APBN 2026 yang kredibel, penguatan cadangan devisa, serta persepsi positif terhadap kebijakan struktural pemerintah akan memperkuat kepercayaan investor.

Dengan kombinasi tersebut, Wahyu menyampaikan penguatan Rupiah dinilai sangat mungkin terjadi, terutama pada paruh kedua 2026. 

Kinerja Indeks LQ45 Masih Tertinggal IHSG, Begini Prospeknya Tahun Depan

Di tengah dinamika tersebut, pelaku pasar tetap perlu mencermati sejumlah risiko, mulai dari arah kebijakan AS, potensi spillover global akibat tingginya utang publik dunia, hingga risiko inflasi domestik akibat gangguan logistik atau kenaikan harga komoditas.

Berdasarkan kondisi di atas, Wahyu memperkirakan nilai tukar rupiah pada akhir 2026 diperkirakan berada di kisaran Rp 15.500 hingga Rp 17.000 per dolar AS.