
Otonomi daerah merupakan salah satu buah dari Reformasi 1998. Kebijakan desentralisasi menjadi instrumen utama dalam mendekatkan pelayanan publik, memperkuat demokrasi lokal, dan mendorong pemerataan pembangunan. Setelah 25 tahun pelaksanaan otonomi, daerah diharapkan memiliki kemandirian fiskal. Meskipun kenyataannya, sampai saat ini banyak daerah yang masih sangat bergantung dengan dana transfer dari pusat.
Berdasarkan data APBD 2023 yang dilansir Kemendagri, terdapat sejumlah daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) di bawah 30%. Misalnya, Papua Barat (6,15 %), Maluku (16,03 %), Aceh (16,93 %), Sulawesi Barat (18,87 %), Maluku Utara (19,79 %), Gorontalo (21,16 %), Sulawesi Tengah (26,59 %), Sulawesi Tenggara (27,89 %), dan Bangka Belitung (29,18 %).
Selain kemandirian fiskal, yang juga menjadi pekerjaan rumah di era otonomi daerah adalah masih maraknya korupsi. Begitu pula Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang rendah. Pada 2023, Indonesia berada di peringkat 113 dari 193 negara. Tertinggal jauh dibandingkan negara ASEAN seperti Thailand (peringkat 76) dan Malaysia (67). Bahkan indikator angka harapan hidup di Indonesia berada di posisi ke-3 terbawah di ASEAN, sedikit di atas Myanmar dan Timor Leste.
Dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada 2025, berada di peringkat 77 dengan skor 66,3 masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 69) dan Vietnam (61), dan negara-negara BRICS dan G20 seperti Brazil (54) dan Tiongkok (49).
Baca juga:
- Indef: Otonomi Daerah Membuat Ketimpangan Ekonomi Semakin Lebar
- Setara Institute Kritik Wacana Gelar Pahlawan Soeharto: Langgar Amanat Reformasi
- Menjawab Tuntutan Reformasi Polri
Ketertinggalan atas indeks-indeks tersebut tidak lepas dari pelaksanaan otonomi daerah belum berjalan efektif, tata kelola kepemerintahan yang belum optimal. Termasuk penggunaan dan pemanfaatan APBD yang tidak efisien dan pembagian urusan yang masih belum sepenuhnya jelas.
Pembagian Urusan Konkuren
Berbagai indikator pengukuran makro tersebut menunjukkan masih belum optimalnya kinerja pemerintah. Hal ini juga merupakan akumulasi kinerja pemerintah daerah. Di sisi lain, tuntutan inovasi pelayanan publik semakin menggeliat di tengah era digital saat ini. Pada 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ada sekitar 24.000 aplikasi milik pemerintah yang dianggap sebagai pemborosan, yang ironisnya memiliki peran dan fungsi yang hampir sama.
Dari sisi masyarakat sebagai pengguna layanan publik, banyaknya aplikasi bahkan yang bersumber dari satu pemerintah daerah yang sama, tidak selalu memudahkan layanan, bahkan cenderung menyulitkan. Masyarakat direpotkan dengan mengunduh dan mengakses berbagai aplikasi, sehingga banyak yang enggan berurusan dengan layanan pemerintah jika tidak sangat terpaksa.
Demikian juga permasalahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sistem zonasi dan keluhan masyarakat terhadap banyaknya jalan rusak di berbagai daerah. Sektor pendidikan dan pekerjaan umum (perbaikan jalan) merupakan urusan konkuren wajib pelayanan dasar yang didelegasikan kepada daerah, sampai saat ini pembagian urusan konkuren masih menjadi problematika klise antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Kasus zonasi sekolah merupakan contoh ketidaktepatan pembagian urusan konkuren di masing-masing level yang ke depan perlu dievaluasi. Hal ini mengingat lambatnya respons pihak sekolah menengah atas terhadap protes orang tua siswa karena kebijakannya berada di level provinsi yang membutuhkan rentan kendali cukup jauh dari wilayah kabupaten/kota.
Lambatnya respons pemerintah terhadap banyaknya jalan rusak dikarenakan adanya pembagian urusan konkuren. Hal ini seringkali menjadi klise karena saling lempar tanggung jawab antar pemerintah pusat dan daerah. Masyarakat tidak akan peduli urusan tersebut ada dimana, karena mereka hanya menginginkan jalan rusak segera diperbaiki sehingga konektivitas dan mobilitas berjalan lancar.
Demikian juga dengan polemik gaji dan tunjangan pegawai pemerintah daerah utamanya disebabkan oleh pemangkasan transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat, yang berdampak pada ruang fiskal daerah (DAU) dan menyebabkan beberapa daerah harus memotong tunjangan kinerja atau menunda gaji.
Beberapa kepala daerah mengusulkan agar gaji dan tunjangan ASN (PNS dan PPPK) di pemerintah daerah dibayarkan langsung oleh pemerintah pusat. Hal ini relevan dengan reformasi birokrasi melalui sistem penggajian tunggal ASN (single salary system) yang diamanahkan oleh UU ASN dan RPJPN 2025-2045 yang belum berjalan sejak 2014 dan menjadi bom waktu yang berpotensi mengganggu kinerja aparatur dan berdampak pada kualitas pelayanan publik.
Langkah ke Depan
Menurut begawan manajemen Peter Drucker (1994), “sesungguhnya tak ada negara/daerah yang miskin, kecuali yang tak terurus/terkelola”. Dengan segala sumber daya yang negeri ini miliki, semestinya otonomi daerah bisa dijadikan loncatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Dengan otonomi daerah, setiap daerah diberikan keleluasaan untuk berinovasi memberikan pelayanan publik yang memudahkan masyarakat.
Otonomi daerah memang belum sempurna, sehingga ke depan kebijakan otonomi daerah perlu diperkuat. Pertama, transfer urusan pemerintah pusat ke daerah hendaknya tidak bersifat simetris. Namun, disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing (asimetris) dan memberi ruang bagi yang membutuhkan perhatian khusus sesuai karakteristiknya (afirmasi).
Bukan sapu jagat dengan one size fits all. Dengan reformulasi berbasis kapasitas, daerah yang memiliki kemampuan tinggi dapat diberikan kewenangan lebih luas. Bahkan mungkin dapat diberikan juga sebagian urusan absolut (tentu secara selektif). Sementara daerah dengan kapasitas terbatas difokuskan pada urusan dasar dengan dukungan pusat yang lebih intensif.
Kedua, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat, tetap diperlukan perangkat dekonsentrasi agar tidak lagi ada saling lempar tanggung jawab/kewenangan.
Ketiga, di era digital saat ini, perlu ada reformulasi otonomi daerah agar tidak terjadi duplikasi pemborosan anggaran pelayan publik dengan mengintegrasikan sistem informasi pelayanan publik (SIPP) dalam platform tunggal berbentuk super apps dan one stop service. Bisa juga replikasi SIPP terbaik yang ada untuk dimanfaatkan di daerah lain.
Keempat, penguatan peran pemerintah provinsi sebagai “wakil” pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi, pemerintah provinsi sering kali berada di posisi yang ambigu. Reformulasi perlu memperjelas peran provinsi sebagai koordinator lintas wilayah kabupaten/kota, terutama dalam urusan bersifat regional (antarwilayah) seperti transportasi, lingkungan hidup, dan penanggulangan bencana.
Otonomi daerah adalah instrumen yang memprioritaskan demokrasi, penyediaan layanan jangka panjang, pembangunan sosial ekonomi, perlindungan lingkungan, pelibatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan kerjasama dengan aktor pembangunan lainnya. Penyampaian layanan publik (public service delivery) melalui pembagian urusan pemerintahan konkuren perlu dipertajam. Hal ini sebagai upaya optimalisasi efektivitas belanja pemerintah, peningkatan standar layanan publik, dan efektivitas operasional pemerintahan, serta peningkatan keberhasilan kebijakan publik yang dipilih dan dilaksanakan.
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia perlu terus disempurnakan dan menjadi bagian demokrasi substansial agar dapat menjamin kualitas hidup masyarakat yang berdaya saing menghadapi bonus demografi 2030 dan Indonesia Emas 2045.