Rekor permintaan saham IPO Superbank (SUPA) kala harga tak optimal

Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Bank digital PT Super Bank Indonesia Tbk. (SUPA) atau Superbank akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) besok, Rabu (17/12/2025). Saham SUPA ditawarkan di harga Rp635.

Perseroan memasang harga indikatif Rp525 hingga Rp695 per saham dalam masa penawaran awal (bookbuilding). Berdasarkan hasil bookbuilding yang dipublikasikan dalam prospektus di harian Bisnis Indonesia edisi 9 Oktober 2025, harga IPO Superbank resmi ditetapkan sebesar Rp635 per saham dengan proses penawaran umum pada 10 Desember—15 Desember 2025.

Melalui aksi korporasi tersebut, calon emiten yang didukung ekosistem Grab dan Emtek Group ini menargetkan penghimpunan dana sekitar Rp2,79 triliun melalui pelepasan 4,4 miliar saham atau setara 13% dari modal ditempatkan dan disetor penuh dengan nilai nominal Rp100 per saham.

: Siap-siap Superbank Resmi Melantai di BEI Pekan Ini, Jadi Emiten Bank Digital ke 7

Manajemen menyampaikan bahwa saham hasil IPO akan memiliki hak yang sama dengan saham lain yang telah ditempatkan dan disetor penuh. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6/2023.

Perseroan menghitung bahwa dengan harga saham Rp635 per saham, maka rasio price to earnings (PE) SUPA sebesar 913,13 kali, atau menjadi 456,56 kali bila disetahunkan. Sementara itu, rasio price to book value (PBV) SUPA dikalkulasi sebesar 3,51 kali.

: : IPO Superbank (SUPA): Mansek dan Trimegah ‘Supir’ Utama, Penjatahan Gunakan POJK Lama

Kedua indikator tersebut biasanya digunakan untuk mengukur harga wajar sebuah saham. PE dihitung dengan membandingkan harga saham dengan laba per saham atau earning per sahre (EPS).

Sederhananya, PE tinggi berarti pasar menilai perusahaan punya prospek yang besar, dan harga saham cenderung mahal. Sedangkan, PE rendah menunjukkan harga saham sedang murah, atau bisa jadi labanya sedang turun.

Sementara itu, PBV dihitung dengan membandingkan harga saham dengan nilai buku per saham atau book value per share (BVPS). BVPS dapat dihitung dengan membandingkan ekuitas perusahaan dengan jumlah saham beredar. 

PBV biasanya digunakan untuk mengukur kewajaran harga saham dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Interpretasi sederhananya, PBV kurang dari 1 kemungkinan saham undervalued (murah), PBV lebih dari 1 berarti harga saham overvalued (mahal), kemungkinan pasar mengapresiasi proyeksi pertumbuhan, sedangkan PBV sama dengan 1 berarti harga pasar sama dengan nilai buku.

Kembali ke SUPA, perseroan melaporkan bahwa per 30 Juni 2025 jumlah laba bersih perseroan mencapai Rp20,51 miliar (Rp41,02 miliar disetahunkan), dengan ekuitas Rp5,33 triliun, laba per saham Rp0,70 (Rp1,39 disetahunkan), dan BVPS Rp180,68.

Dengan demikian, PE SUPA untuk periode yang berakhir tengah tahun sebesar 913,13 kali dengan PBV di level 3,51 kali. Sedangkan bila menggunakan angka yang disetahunkan, PE SUPA sebesar 456,56 kali dengan PBV 3,51 kali.

Superbank (SUPA) akan menjadi emiten bank digital ketujuh yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Valuasi SUPA pun dapat dibandingkan dengan saham-saham bank digital lainnya.

Valuasi Kompetitor SUPA

Dalam kelas bank digital ini terdapat sejumlah pemain lawas yang sudah melantai, yaitu PT Bank Jago Tbk. (ARTO), PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB), PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI), PT Bank Aladin Syariah Tbk. (BANK), dan PT Krom Bank Indonesia Tbk. (BBSI).

Apabila menggunakan acuan laporan keuangan masing-masing emiten per 30 Juni 2025 didapatkan bahwa PE ARTO berada di level 193,57 (96,76 kali disetahunkan), BBYB 10,83 kali (5,42 kali disetahunkan), BBHI 37,56 kali (18,78 kali disetahunkan), BANK 131,49 kali (65,75 kali disetahunkan), dan BBSI 39,25 kali (19,63 kali disetahunkan).

Secara rata-rata PE dari saham emiten bank digital per semester I 2025 berada di level 82,54 kali, atau 41,27 kali bila disetahunkan.

Sementara itu, PBV ARTO per 30 Juni 2025 berada di level 2,84 kali, BBYB 0,77 kali, BBHI 2,34 kali, BANK 3,57 kali, dan BBSI 4,36 kali.  Rara-rata PBV saham emiten bank digital sebesar 2,78 kali.

Dengan melihat perbandingan tersebut, PE saham SUPA jauh berada di atas PE rata-rata industri bank digital. Sedangkan nilai PBV meskipun di atas rata-rata tetapi tidak terlalu signifikan, bahkan masih ada di bawah level PBV saham BANK dan BBSI.

CEO Sucor Sekuritas Bernadus Wijayan memandang bahwa Superbank berada pada level valuasi yang sangat kompetitif dibandingkan emiten di sektor serupa.

Dengan harga penawaran di level Rp635 per saham, valuasi Superbank merefleksikan PBV sekitar 2,64 kali, menjadikannya salah satu bank digital dengan valuasi paling rendah dibandingkan kompetitor. 

“Jika dibandingkan dengan ARTO, BBHI, atau Aladin yang PBV-nya jauh lebih tinggi, maka secara valuasi Superbank berada pada level yang sangat menarik bagi investor,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (9/12/2025).

Bernadus menambahkan bahwa valuasi yang rendah saat IPO justru membuka peluang rerating atau penyesuaian kenaikan valuasi ke depan. Adapun re-rating tersebut akan bergantung pada kemampuan Superbank dalam mengeksekusi strategi pertumbuhan dan mengoptimalkan ekosistem digitalnya.

“Bank digital biasanya diperdagangkan dengan premi karena ekspektasi pertumbuhan yang besar. Namun, Superbank saat ini justru berada di valuasi konservatif. Ini memberi peluang bagi investor yang ingin masuk lebih awal sebelum valuasinya menyesuaikan dengan kinerja dan ekspansi,” tuturnya.

Kinerja Superbank

Sepanjang tahun ini hingga kuartal III/2025, Superbank mulai mencatatkan laba. Pada kuartal pertama 2025, Superbank mencatat laba bersih senilai Rp251 juta pada kuartal I/2025. Jumlah itu berbalik dari rugi bersih senilai Rp105,06 miliar pada kuartal I/2024 atau laba pertama kalinya sejak aplikasi perbankan Superbank diluncurkan secara luas pada Juni 2024.

“Pencapaian ini mencerminkan keberhasilan strategi pertumbuhan yang berfokus pada ekspansi nasabah digital, efisiensi operasional, dan penyaluran kredit yang prudent,” tulis manajemen Superbank dalam laporan keuangan.

Laba tersebut didorong oleh pendapatan bunga bersih yang naik 135,9% (year on year/YoY) dari Rp111,94 miliar menjadi Rp264,06 miliar. Namun, beban pencadangan alias impairment berada pada level Rp55,9 miliar atau naik 63,20% (YoY) per kuartal I/2025.

Dari sisi intermediasi, penyaluran kredit Superbank tumbuh  144,53% (YoY) dari Rp3,11 triliun menjadi Rp7,6 triliun per Maret 2025. Aset perseroan pun meningkat 125% hingga mencapai Rp14,04 triliun dari sebelumnya Rp6,24 triliun.

Kemudian, pada semester pertama 2025 bank digital ini mencatatkan laba bersih senilai Rp20,1 miliar. Dari sisi penyaluran kredit, tercatat senilai Rp8,4 triliun atau melonjak 123% secara tahunan. Peningkatan ini seiring dengan strategi akuisisi nasabah dan ekspansi produk pinjaman yang tepat sasaran. 

Adapun, pertumbuhan kredit ini turut mendorong kenaikan total aset menjadi Rp15,0 triliun, atau tumbuh 122% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pada kuartal III/2025 Superbank juga membukukan laba bersih sebesar Rp60,12 miliar pada kuartal III/2025, membalikkan rugi pada kuartal III tahun sebelumnya senilai Rp285,73 miliar.

Laba itu dibarengi dengan pendapatan bunga sebesar Rp1,49 triliun atau meningkat 69,63% secara tahunan dari periode yang sama tahun lalu Rp455,02 miliar. Pada saat yang sama, beban bunga perseroan tercatat meningkat 85,90% (YoY) menjadi Rp397,09 miliar.

Dengan realisasi tersebut, Superbank membukukan pendapatan bunga bersih sebesar Rp1,10 triliun tumbuh 63,76% (YoY) dari periode yang sama tahun lalu Rp399,01 miliar. Beban operasional lainnya tercatat meningkat dibanding kuartal III/2024.

Superbank mencatat, beban operasional lainnya meningkat 32,35% (YoY) menjadi Rp 1,01 triliun dari sebelumnya Rp689,74 miliar pada kuartal III/2024. Beban lainnya meningkat 46,30% (YoY) menjadi Rp445,95 miliar pada kuartal III/2025.

Analis RHB Sekuritas Indonesia Andrey Wijaya mengatakan bahwa prospek pertumbuhan bank digital memang menarik, tetapi investor perlu mencermati beberapa risiko fundamental yang masih mengemuka.

Pertama, profitabilitas Superbank dinilai masih berada pada tahap awal. Meski bank berhasil membalikkan posisi rugi menjadi laba Rp20 miliar pada paruh pertama 2025, tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) masih berada di kisaran 1% hingga 2%.

Kedua, percepatan ekspansi kredit ke segmen ritel dan UMKM membawa risiko eksekusi serta risiko kredit yang perlu dikelola secara ketat.

Dengan pertumbuhan penyaluran kredit mencapai 30% secara tahunan, kualitas underwriting dan kemampuan bank menjaga tingkat gagal bayar akan menjadi titik krusial saat portofolio semakin membesar.

Selain itu, Superbank akan masuk ke pasar yang kian kompetitif. Sejumlah bank digital seperti Bank Jago, Bank Neo Commerce, Allo Bank Indonesia, dan Bank Raya Indonesia telah lebih dulu menghadapi dinamika valuasi yang fluktuatif, seiring perubahan sentimen investor terhadap sektor perbankan digital.

Jadwal Penting IPO Superbank (SUPA):

  • Tanggal efektif: 8 Desember 2025
  • Masa penawaran umum perdana saham: 10–15 Desember 2025
  • Tanggal penjatahan: 15 Desember 2025
  • Distribusi saham secara elektronik: 16 Desember 2025
  • Pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia: 17 Desember 2025

***

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.