
JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengukuhkan prediksinya terkait Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang akan membukukan surplus signifikan sebesar Rp33,3 triliun pada akhir tahun 2025. Proyeksi cemerlang ini sekaligus menempatkan bank sentral sebagai salah satu kontributor pajak terbesar bagi negara.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, memaparkan secara rinci bahwa penerimaan bank sentral diperkirakan mencapai Rp50,5 triliun hingga September 2025. Angka ini diproyeksikan akan terus menanjak, menembus Rp58,1 triliun pada penghujung tahun 2025, menandakan kinerja finansial yang kuat.
Di sisi lain, pengeluaran BI tercatat sebesar Rp10,8 triliun sampai dengan September 2025. Namun, dengan berbagai operasional dan program, angka pengeluaran ini diperkirakan akan terakselerasi, mencapai Rp24,7 triliun pada akhir tahun 2025. Berdasarkan perhitungan penerimaan dan pengeluaran tersebut, Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI akan mencatatkan surplus sebesar Rp33,3 triliun.
“Dengan surplus yang besar ini, kami Bank Indonesia menjadi salah satu pembayar pajak terbesar,” ungkap Perry dalam sebuah rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (12/11/2025). Pernyataan ini menegaskan peran krusial BI tidak hanya dalam menjaga stabilitas moneter, tetapi juga dalam mendukung kas negara.
Sebagai informasi penting, Bank Indonesia adalah badan hukum publik yang tunduk pada kewajiban sebagai wajib pajak badan. Dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 22%, surplus yang diproyeksikan ini memiliki implikasi fiskal yang besar.
Jika surplus Bank Indonesia benar-benar mencapai Rp33,3 triliun, maka bank sentral ini akan diwajibkan menyetor PPh badan sebesar Rp7,26 triliun. Angka ini terbilang sangat signifikan, menunjukkan kontribusi finansial yang substansial dari BI kepada pendapatan negara.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, setoran pajak BI dapat dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) raksasa. Sebagai perbandingan, PT Pertamina (Persero), BUMN yang dikenal dengan laba bersih tertinggi, pada tahun 2024 mencatat laba bersih sebesar US$3,13 miliar atau setara dengan Rp49,54 triliun. Dari laba tersebut, Pertamina wajib menyetor PPh badan sekitar Rp10,9 triliun ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Menariknya, angka setoran pajak ini tidak terpaut jauh dari setoran pajak yang akan disumbangkan oleh Bank Indonesia.
Penerimaan Bank Indonesia sendiri bersumber dari pengelolaan aset valuta asing, berbagai kegiatan kelembagaan, serta administrasi. Sementara itu, pengeluaran BI mencakup berbagai pos penting seperti pembayaran gaji dan penghasilan pegawai, manajemen sumber daya manusia, layanan sarana dan prasarana, perumusan dan pelaksanaan kelembagaan, operasionalisasi kebijakan, pemberdayaan UMKM, stabilisasi harga, akseptasi digital, pelaksanaan supervisi, program sosial dan pemberdayaan, hingga kewajiban pajak.