Bitcoin Terbang? Analisis Dampak Penurunan Suku Bunga The Fed

Ussindonesia.co.id – , JAKARTA — Proyeksi harga aset kripto, khususnya Bitcoin, kembali mengarah bullish seiring dengan kebijakan moneter yang lebih longgar dari bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Pertanyaannya kini adalah, mampukah harga Bitcoin sekali lagi menembus level fantastis Rp2 miliar per koin?

Berdasarkan data terkini dari CoinMarketCap pada Kamis (18/9/2025) pukul 14.00 WIB, harga Bitcoin tercatat di level US$117.029, atau setara dengan Rp1,92 miliar (dengan asumsi kurs Rp16.437 per dolar AS), menunjukkan kenaikan tipis sebesar 0,1% pada perdagangan hari itu. Tren positif ini bukan hanya sesaat; Bitcoin telah kembali ke zona hijau, menguat 1,67% dalam sebulan terakhir, dan melonjak impresif hingga 93,52% dalam setahun perdagangan.

Sebelumnya, Bitcoin memang sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah dengan menyentuh level Rp2 miliar per koin pada bulan lalu, sebelum akhirnya mengalami koreksi harga. Namun, kini harga Bitcoin menunjukkan pergerakan yang relatif stabil dan cenderung naik perlahan, didorong oleh adanya sinyal kebijakan moneter longgar. Terbaru, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) dari The Fed telah memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menurunkannya ke kisaran 4%–4,25%.

: Bitcoin & Altcoin di Tengah September Effect & Proyeksi Pemangkasan Suku Bunga The Fed

Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menyoroti stabilitas harga Bitcoin pasca keputusan The Fed ini sebagai indikasi bahwa pasar telah mengantisipasi pemangkasan tersebut. Menurutnya, fokus utama investor kini telah bergeser pada arah kebijakan The Fed selanjutnya. Fyqieh menjelaskan, “Pemangkasan ini memang tidak memberi lonjakan harga instan, karena sebagian besar sudah diperhitungkan pasar. Namun, jika The Fed kembali menurunkan suku bunga pada pertemuan berikutnya, maka likuiditas global akan meningkat dan berpotensi mendorong Bitcoin menembus level resistance baru di kisaran US$120.000 atau sekitar Rp1,98 miliar.”

Meskipun demikian, riwayat pergerakan Bitcoin menunjukkan bahwa pemotongan suku bunga tidak selalu berujung pada reli harga yang berkelanjutan. Justru, euforia pasar kerap diikuti oleh aksi jual besar-besaran. Sebagai contoh, terakhir kali The Fed memangkas suku bunga pada 18 Desember 2024, harga Bitcoin yang kala itu berada di sekitar US$106.000 per koin merosot 30% dalam beberapa minggu berikutnya. Dengan harga Bitcoin yang kini kembali bertengger di atas US$117.000, para pelaku pasar tetap dituntut untuk berhati-hati terhadap potensi terulangnya pola serupa.

Fyqieh menambahkan bahwa selain kebijakan moneter longgar, tren arus masuk ke produk ETF Bitcoin spot juga dapat menjadi faktor penentu pergerakan jangka menengah. “Minat institusi lewat ETF menjadi bukti bahwa Bitcoin semakin dilihat sebagai aset lindung nilai terhadap pelemahan dolar dan inflasi. Selama sentimen makro tetap dovish, ruang kenaikan BTC masih terbuka lebar,” jelasnya.

The Fed sendiri memproyeksikan suku bunga bisa turun hingga 3,6% pada akhir 2025, dengan kemungkinan dua kali pemangkasan tambahan dalam beberapa bulan ke depan. Jika proyeksi ini terealisasi, aset berisiko, termasuk kripto, diperkirakan akan mendapat dorongan positif yang signifikan. Namun, ketidakpastian geopolitik dan tekanan politik domestik di AS tetap menjadi variabel lain yang perlu dicermati para investor.

Sebelumnya, Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, mengemukakan bahwa aset kripto seperti Bitcoin saat ini juga sedang dikaitkan dengan fenomena “September Effect“. Secara historis, sejak 2013, data mencatat bahwa rata-rata return Bitcoin pada bulan September cenderung negatif. “Tapi menariknya, dalam dua tahun terakhir, September justru memberikan return positif baik bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun secara keseluruhan masih menjadi bulan dengan rata-rata return historis terburuk bagi Bitcoin sejauh ini,” jelas Fahmi.

: The Fed Pangkas Suku Bunga, Saham Properti & Keuangan Jatuh Loyo

Dia menjelaskan bahwa fenomena September Effect tersebut berkaitan dengan beberapa faktor krusial, di antaranya adalah pengetatan likuiditas global. Selain itu, bulan September sering bertepatan dengan momentum penting seperti rilis data ekonomi dan keputusan kebijakan suku bunga The Fed, situasi yang sering membuat investor lebih konservatif. Lebih lanjut, akhir September juga menandai akhir dari kuartal ketiga tahun fiskal, di mana banyak investor institusional dan manajer investasi melakukan rebalancing portofolio untuk mengamankan keuntungan atau mengambil untung sebelum akhir tahun. “Tindakan ini biasanya menciptakan tekanan jual yang signifikan di pasar,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Fahmi, September Effect juga telah menjadi pengetahuan umum di kalangan pelaku pasar, di mana ekspektasi negatif dari para investor justru memperkuat tren tersebut. Banyak pelaku pasar yang percaya bahwa pasar akan turun, sehingga mereka mulai menjual aset dan pada akhirnya mewujudkan penurunan harga tersebut.

Meskipun demikian, pada tahun 2025, pasar global memiliki dinamika yang unik. Pasar kripto, khususnya Bitcoin dan Ethereum, mendapatkan dukungan kuat dari arus dana institusional melalui instrumen ETF Spot yang terus menarik minat investor besar. Terlebih lagi, The Fed telah memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada pertemuan FOMC, memberikan sentimen positif yang dapat menetralkan sebagian dari dampak historis September Effect.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Ringkasan

Harga Bitcoin menunjukkan tren positif setelah The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Meskipun pemangkasan ini sudah diantisipasi pasar, potensi penurunan suku bunga lebih lanjut oleh The Fed dapat mendorong Bitcoin menembus level resistance baru. Sentimen positif ini didukung oleh minat institusi melalui ETF Bitcoin spot yang semakin melihat Bitcoin sebagai aset lindung nilai.

Namun, pelaku pasar perlu berhati-hati karena riwayat menunjukkan pemotongan suku bunga tidak selalu menjamin reli harga berkelanjutan, dan euforia pasar dapat diikuti aksi jual besar-besaran. Selain kebijakan moneter, faktor seperti September Effect, yang secara historis memberikan return negatif bagi Bitcoin, serta ketidakpastian geopolitik juga perlu dipertimbangkan.