JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menyoroti fenomena menarik di sektor perbankan Tanah Air: permintaan terhadap kredit belum menunjukkan pemerataan di seluruh sektor usaha, meskipun likuiditas perbankan berada pada level yang sangat tinggi. Kondisi ini menjadi fokus utama diskusi yang melibatkan para pemangku kebijakan.
Fakta tersebut diungkapkan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat virtualnya dengan DPD RI pada Selasa (2/9/2025). Perry menjelaskan bahwa Bank Indonesia, bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), telah aktif berupaya mendorong laju pertumbuhan penyaluran kredit. Berbagai instrumen kebijakan pun telah dikerahkan untuk mencapai tujuan ini.
Lebih lanjut, Perry memaparkan langkah-langkah konkret yang telah diambil BI. Bank sentral telah menggelontorkan likuiditas ke perbankan dan menerapkan kebijakan penurunan suku bunga acuan. Namun, ia mengakui bahwa upaya ini belum sepenuhnya membuahkan hasil optimal dalam mendorong tingginya permintaan pembiayaan dari berbagai segmen usaha.
“Likuiditas di bank itu lebih dari memadai, dari alat likuid per DPK-nya [dana pihak ketiga] yang sangat tinggi 27%, kami juga terus turunkan suku bunga. Demikian juga kami melakukan diskusi dengan perbankan, appetite untuk bank menyalurkan kredit itu masih tinggi, masalahnya satu saja permintaan untuk kredit memang belum merata ke berbagai sektor,” tegas Perry dalam kesempatan virtual tersebut. Pernyataan ini secara gamblang menggambarkan kesenjangan antara kapasitas bank untuk menyalurkan kredit dengan daya serap dari sektor riil.
Menurut Gubernur BI dua periode itu, saat ini pertumbuhan permintaan kredit masih terkonsentrasi pada sektor usaha berorientasi ekspor. Meskipun demikian, beberapa sektor lain seperti sebagian dari industri, transportasi, jasa, dan pertanian juga tetap menunjukkan geliat pertumbuhan yang signifikan dalam permintaan pembiayaan.
Menyikapi kondisi ini, Perry menegaskan komitmen BI untuk terus mendorong pertumbuhan kredit perbankan agar lebih tinggi. BI memperkirakan pertumbuhan kredit pada tahun 2025 dapat mencapai kisaran 8% hingga 11%, dan akan meningkat menjadi 9% hingga 12% pada tahun 2026. Proyeksi optimis ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi aktivitas ekonomi nasional.
Situasi yang digambarkan oleh Perry ini memiliki keselarasan dengan pandangan yang sebelumnya disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK (DK OJK) Mahendra Siregar di Komisi XI DPR pada Jumat (22/8/2025). Mahendra juga mengamati adanya moderasi dalam laju pertumbuhan kredit perbankan.
Mahendra memperkirakan bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2025 akan sedikit melambat, atau mengalami moderasi, hingga mencapai angka 8,99% year-on-year (yoy). Perubahan proyeksi ini, jelas Mahendra, dipicu oleh berbagai faktor yang mempengaruhi rencana bisnis bank, yang kemudian direvisi pada Agustus 2025.
“Dari segi kinerja tadi menyebabkan perubahan dalam rencana bisnis bank yang diajukan bulan Agustus ini, dari semula kredit diproyeksikan dapat mencapai di atas 10% dalam revisi rencana bisnis bank yang dilakukan bulan ini, disampaikan bahwa pertumbuhan kredit akan mencapai hampir 9%,” ujar Mahendra di ruang rapat Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Selain proyeksi kredit, OJK juga memperkirakan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada tahun 2025 akan mencapai 9,95% yoy. Mahendra juga memberikan perbandingan data hingga Juli 2025, di mana pertumbuhan kredit perbankan baru menyentuh angka 7,03%, sementara DPK mencapai 7%.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri itu membeberkan bahwa moderasi pertumbuhan kredit terjadi di semua segmen berdasarkan data per Juli 2025. Sebagai contoh, kredit korporasi melambat menjadi 9,6% yoy pada Juli 2025, turun dari 10,78% yoy pada Juni 2025. Hal ini mengindikasikan perlambatan aktivitas pembiayaan di segmen usaha besar.
Sementara itu, kredit UMKM menunjukkan pertumbuhan yang masih rendah, hanya di level 1,82% yoy. Meskipun demikian, secara keseluruhan risiko kredit tercatat terjaga dengan rasio NPL (non-performing loan) sebesar 2,28%. Namun, Mahendra menyoroti NPL untuk UMKM yang masih cukup tinggi, yakni di angka 4,53%, menunjukkan adanya tantangan spesifik di segmen usaha kecil dan menengah.
Konteks kebijakan BI sendiri mendukung upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, BI telah mengambil langkah proaktif dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 5%, melalui pemangkasan sebesar 25 basis poin dari level sebelumnya. Kebijakan ini diputuskan dalam Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Agustus 2025 lalu, sebagai bagian dari strategi untuk merangsang aktivitas pembiayaan dan ekonomi.