CSR BI-OJK: Pramugari Garuda Diperiksa KPK, Ada Apa?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengintensifkan penyelidikan dugaan kasus korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Rabu, 12 November 2025, lembaga antirasuah ini memanggil lima individu dari berbagai latar belakang profesi untuk dimintai keterangan sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Para saksi yang dipanggil memiliki profesi yang beragam, menandakan luasnya jangkauan penyelidikan KPK dalam kasus ini. Mereka meliputi ERDP, seorang pramugari dari maskapai Garuda; SSR, seorang ibu rumah tangga; VOD, seorang mahasiswa; AIC, seorang dokter umum; dan DYR, seorang wiraswasta. Pemanggilan ini diharapkan dapat mengungkap lebih banyak fakta terkait aliran dana CSR yang diduga diselewengkan.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan pemanggilan tersebut. Namun, ia belum dapat memberikan detail lebih lanjut mengenai materi pemeriksaan yang disampaikan kepada para saksi. Pihak KPK akan menunggu hingga proses pemeriksaan selesai untuk memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada publik.

Dalam pusaran kasus dugaan korupsi CSR BI dan OJK ini, KPK sebelumnya telah menetapkan dua tersangka utama, yaitu Heri Gunawan dan Satori. Keduanya merupakan mantan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2023, sebuah komisi yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.

Modus operandi dugaan korupsi ini terungkap melalui penerimaan sejumlah besar dana oleh para tersangka. Heri Gunawan, misalnya, diduga menerima total Rp15,86 miliar. Dana tersebut berasal dari berbagai sumber, termasuk Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

Sementara itu, Satori juga diduga menerima total Rp12,52 miliar dari skema serupa. Rinciannya meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya. Jumlah fantastis ini menunjukkan skala penyalahgunaan wewenang yang terjadi.

Ironisnya, dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat melalui program CSR tersebut justru diduga digunakan para tersangka untuk memperkaya diri sendiri. Investigasi KPK menunjukkan bahwa uang haram tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi, seperti deposito, pembelian tanah yang kemudian digunakan untuk membangun showroom, dan berbagai aset personal lainnya. Tindakan ini jelas merugikan keuangan negara dan kepercayaan publik.

Atas perbuatan mereka, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selain itu, keduanya juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menggarisbawahi upaya KPK untuk menindak tegas pelaku korupsi dan pencucian uang.

Ringkasan

KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi dana CSR BI dan OJK, dengan memanggil lima saksi dari berbagai profesi, termasuk seorang pramugari Garuda, ibu rumah tangga, mahasiswa, dokter, dan wiraswasta. Pemanggilan ini bertujuan mengungkap aliran dana CSR yang diduga diselewengkan. Juru Bicara KPK membenarkan pemanggilan tersebut, namun detail materi pemeriksaan belum dapat diungkapkan sampai proses selesai.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Heri Gunawan dan Satori, mantan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2023, sebagai tersangka. Keduanya diduga menerima miliaran rupiah dari BI dan OJK melalui program bantuan sosial dan penyuluhan keuangan, yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi seperti deposito dan pembelian aset. Mereka disangkakan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.