
Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Harga aset kripto, seperti Bitcoin malah jeblok di tengah tren kebijakan moneter longgar The Fed. Adapun, kebijakan moneter longgar itu memicu kehati-hatian investor yang khawatir pelemahan ekonomi AS.
Berdasarkan data CoinMarketCap, harga Bitcoin turun 4,58% dalam sepekan perdagangan terakhir hingga perdagangan hari ini, Kamis (25/9/2025) di level US$111.888 per koin.
Kemudian, harga Ethereum jeblok 12,28% dalam sepekan ke level US$4.034 per koin. Harga Solana turun 16,74% dalam sepekan ke level US$205 per koin dan XRP turun 8,42% dalam sepekan ke level US$2,84 per koin.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menjelaskan pasar kripto saat ini berada di bawah tekanan setelah The Fed memangkas suku bunga bulan ini. Rapat anggota dewan gubernur bank sentral AS, The Fed dalam Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) telah memutuskan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4%–4,25%.
Alih-alih memicu reli seperti yang diharapkan sebagian investor, keputusan The Fed justru meningkatkan kehati-hatian karena dianggap menandakan pelemahan ekonomi AS. Tekanan ini terjadi akibat likuidasi besar-besaran di pasar derivatif dan melemahnya arus masuk ke ETF Bitcoin spot.
: Prediksi Puncak Harga Bitcoin Menggunakan 5 Indikator
Di sisi lain, penguatan dolar AS serta kenaikan imbal hasil obligasi membuat investor lebih memilih aset safe haven, seperti emas yang kini mendekati harga US$3.800 per ons.
Menurut Fyqieh, pola pelemahan pasar pasca-pemangkasan suku bunga The Fed sebenarnya cukup umum. Tekanan jual memang besar, tapi mengacu data on-chain, kepercayaan holder jangka panjang masih terjaga.
“Pasar biasanya cenderung lesu lebih dulu sebelum menemukan titik stabil, lalu memasuki fase pertumbuhan baru beberapa bulan kemudian,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Kamis (25/9/2025)
Fyqieh menilai Bitcoin saat ini masih berada dalam fase konsolidasi dengan support kuat di sekitar US$111.000 per koin. Potensi pemulihan tetap terbuka jika Bitcoin mampu menembus level psikologis US$114.000.
“Kenaikan kecil yang terlihat bisa menyembunyikan potensi lonjakan lebih besar, terutama jika sentimen institusional lewat ETF kembali menguat. Namun, jika support utama gagal bertahan, Bitcoin bisa kembali ke bawah US$110.000, dan itu berpotensi menyeret altcoin lebih dalam,” ujar Fyqieh.
Dalam jangka pendek, volume perdagangan yang masih rendah membuat pasar rentan terhadap pergerakan volatil. Namun, jika Bitcoin mampu menembus US$118.000, peluang menuju US$125.000 akan terbuka. Bahkan, target optimistis hingga US$140.000 sebelum akhir tahun dinilai masih realistis, meski ada kemungkinan koreksi lebih dalam hingga US$108.000.
Ke depan, Bitcoin diperkirakan tetap menjadi penentu arah pasar kripto secara keseluruhan. Altcoin utama seperti Ethereum, Solana, dan XRP kemungkinan besar akan mengikuti pergerakan Bitcoin. Sementara faktor makroekonomi global dan minat institusional masih akan menjadi katalis utama bagi pasar.
Sebelumnya, Analis Reku Fahmi Almuttaqin menilai sebenarnya aset kripto seperti Bitcoin saat ini sedang dikaitkan dengan fenomena September Effect. Sejak 2013, data historis mencatat rata-rata return Bitcoin pada September cenderung negatif. Meskipun, dalam dua tahun terakhir, bulan September justru memberikan return positif baik bagi Bitcoin maupun Ethereum.
: Ramalan Bitcoin saat Suku Bunga The Fed Turun, Mampu Tembus Rp2 Miliar Lagi?
Dia mengatakan fenomena September Effect tersebut berkaitan dengan beberapa faktor seperti likuiditas global yang mengetat. Apalagi, bulan September sering bertepatan dengan momentum krusial, seperti rilis data ekonomi dan keputusan kebijakan suku bunga The Fed. Situasi tersebut membuat investor lebih konservatif.
Selain itu, akhir September adalah akhir dari kuartal ke-3. Banyak investor institusional dan manajer investasi melakukan rebalancing portofolio untuk mengamankan keuntungan atau ambil untung sebelum akhir tahun fiskal.
“Tindakan ini biasanya menciptakan tekanan jual yang signifikan di pasar,” imbuhnya.
Selain itu, lanjutnya, September Effect juga sudah menjadi pengetahuan umum, ekspektasi negatif dari para investor justru memperkuat tren tersebut. Banyak pelaku pasar yang percaya bahwa pasar akan turun, sehingga mereka mulai menjual aset dan membuat penurunan harga benar-benar terjadi.