
Ussindonesia.co.id JAKARTA. Risiko pelemahan harga minyak mentah dunia masih berpotensi membayangi kinerja emiten minyak dan gas (migas) pada 2026 mendatang. Emiten di sektor ini perlu mengoptimalkan produksi gas di tengah harga komoditas gas alam yang cenderung menguat.
Mengutip situs Trading Economics, harga minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) telah terkoreksi 18,57% year to date (ytd) ke level US$ 58,40 per barel pada Kamis (25/12). Harga minyak dunia Brent juga menyusut 16,58% ytd ke level US$ 62,24 per barel. Namun, dalam sepekan terakhir harga minyak WTI dan Brent menguat masing-masing sebesar 4,29% dan 4,09%.
Sebaliknya, harga gas alam dunia melonjak 16,97% ytd ke level US$ 4,24 per MMBTU pada Kamis (25/12). Dalam seminggu terakhir, harga gas alam juga menguat 8,74%.
Kepala Riset Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi mengatakan, jika harga minyak dunia berada di kisaran US$ 50–60 per barel, maka profitabilitas emiten produsen hulu migas pasti mengalami penurunan seiring melemahnya margin. Dari situ, pihak emiten wajib mengubah strategi dengan mengoptimalkan aset gas sebagai tulang punggung kinerja tahun depan.
UBS Lepas 627,35 Juta Saham di Bumi Resources (BUMI), Tujuannya Tak Biasa!
“Emiten dengan porsi gas besar sepert PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) punya daya tahan lebih baik dan prospek positif karena harga gas masih premium,” ujar dia, Selasa (23/12).
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas David Kurniawan menambahkan, prospek kinerja emiten hulu migas pada dasarnya tetap positif namun moderat. Upaya diversifikasi ke segmen gas dan energi terbarukan akan menjadi penentu emiten yang tetap tumbuh.
Dia menyebut, jika harga minyak dunia bertahan di level US$ 60 per barel, emiten hulu migas sebenarnya masih bisa mencatatkan margin yang cukup sehat, mengingat break-even point (BEP) produksi rata-rata berada di kisaran US$ 40–US$ 50 per barel. Hanya saja, bila dibandingkan dengan masa keemasan ketika harga minyak ada di kisaran US$ 80–US$ 90 per barel, pertumbuhan laba bersih emiten migas memang akan melambat.
Sebaliknya, berbeda dengan harga minyak yang sangat volatil di pasar spot, harga gas alam sering kali terikat dalam kontrak jangka panjang dengan harga yang lebih stabil. “Alhasil, profitabilitas dari lini gas akan menopang kinerja emiten saat harga minyak lesu,” tutur dia, Kamis (25/12).
Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su menilai, meski harga minyak dunia rentan terkoreksi, emiten-emiten hulu migas di Indonesia diyakini akan tetap ekspansi. Dia memberi contoh, ENRG menjadi salah satu emiten migas yang jor-joran akuisisi hak partisipasi blok migas dengan target satu hingga dua akuisisi setiap tahunnya.
“Yang kedua ada PT Rukun Raharja Tbk (RATU) yang menargetkan akan melakukan tujuh akuisisi blok dalam tiga tahun mendatang, di mana dua blok akan diselesaikan pada semester pertama 2026,” ujarnya, Rabu (24/12).
Wafi juga menyebut, tren ekspansi di sektor hulu migas akan bergeser dari eksplorasi blok migas baru menjadi akuisisi aset blok migas produktif ketika valuasinya sedang murah. Artinya, kebutuhan capital expenditure (capex) untuk eksplorasi tidak akan agresif karena risikonya cukup tinggi. Lantas, emiten migas yang memiliki arus kas kuat berpeluang besar aktif melakukan ekspansi secara anorganik pada tahun depan.
Di sisi lain, emiten hulu migas berhadapan dengan tantangan akses pendanaan skala global yang makin sulit. Sebab, perbankan global kini cenderung selektif memberi pinjaman ke sektor yang berkaitan dengan energi fosil.
“Selain itu, natural decline rate sumur tua yang tinggi juga membuat biaya pengeluaran naik hanya untuk jaga level produksi, bukan untuk menaikkan produksi,” jelas Wafi.
Senada, David menyebut bahwa transisi energi menjadi tantangan bagi emiten migas di luar faktor pergerakan harga komoditas minyak dan gas alam. Saat ini, tekanan untuk dekarbonisasi semakin kuat yang ditunjukkan oleh sikap perbankan global yang mulai membatasi pendanaan untuk proyek energi fosil murni. Alhasil, emiten migas harus mulai mengalokasikan dana untuk proyek carbon capture atau energi hijau untuk menjaga akses pembiayaan.
David merekomendasikan beli saham MEDC dengan target harga sekitar Rp 1.600–Rp 1.800 per saham. MEDC diuntungkan oleh eksposur gas yang besar sehingga membuatnya jadi saham migas paling defensif.
Saham ENRG turut direkomendasikan hold oleh David dengan target harga Rp 1.600–Rp 1.700 per saham. ENRG cukup agresif dalam akuisisi blok baru dan kinerjanya sangat bergantung pada keberhasilan meningkatkan produksi gas.
Rekomendasi hold juga disematkan untuk saham RAJA dengan target harga di level Rp 7.000 per saham. Saat ini model bisnis RAJA mulai bergeser ke infrastruktur migas yang mana arus kas emiten ini cenderung lebih stabil dibandingkan emiten hulu migas murni.
Di lain pihak, Harry Su merekomendasikan beli saham MEDC, ENRG, RAJA, dan RATU dengan target harga masing-masing di level Rp 1.600 per saham, Rp 2.300 per saham, Rp 7.000 per saham, dan Rp 20.000 per saham.
Ini Deretan Saham IPO Paling Cuan dan Boncos di Tahun 2025