Harga Minyak Dunia Tertekan, Musim Dingin Bisa Jadi Pengungkit


Ussindonesia.co.id – JAKARTA. Harga minyak mentah dunia saat ini sedang menghadapi tekanan signifikan akibat sentimen pesimistis yang menyelimuti pasar minyak global. Data dari Trading Economics pada Kamis (13/11/2025) pukul 14.51 WIB menunjukkan bahwa harga minyak mentah WTI diperdagangkan pada level US$ 58,41 per barel. Angka ini mencerminkan pelemahan signifikan, dengan penurunan 1,89% dalam sepekan terakhir dan telah terkoreksi 18,70% secara year-to-date (ytd).

Girta Putra Yoga, Research and Development ICDX, menjelaskan bahwa pergerakan harga minyak cenderung bearish, terbebani oleh proyeksi pesimistis terbaru dari dua lembaga berpengaruh: US Energy Information Administration (EIA) dan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Sentimen negatif ini memperkeruh prospek permintaan dan pasokan minyak mentah di masa mendatang.

Meskipun demikian, terdapat secercah harapan dari dibukanya kembali pemerintahan Amerika Serikat (AS) setelah Presiden Trump mengesahkan Undang-Undang pendanaan. Kondisi ini berpotensi memicu kenaikan kembali harga minyak, seiring dengan peningkatan kepercayaan konsumen dan aktivitas ekonomi di negara konsumen minyak terbesar di dunia itu.

Dalam laporan Prospek Energi Jangka Pendek yang dirilis Rabu (12/11/2025), EIA memperkirakan bahwa produksi minyak AS rata-rata akan mencapai 13,59 juta barel per hari (bph) tahun ini, sebelum kemudian sedikit menurun menjadi sekitar 13,58 juta bph pada tahun depan. Proyeksi ini merevisi pandangan EIA sebelumnya, yang memperkirakan penurunan produksi yang sedikit lebih tajam dari sekitar 13,53 juta bph pada tahun 2025 menjadi 13,51 juta bph pada tahun 2026.

Lebih lanjut, Yoga mengungkapkan kepada Kontan, “Secara global, EIA melihat produksi minyak dan bahan bakar akan mencapai rata-rata 106 juta bph pada tahun ini, dan di sisi konsumsi diperkirakan akan mencapai rata-rata 104,1 juta bph.” Data ini mengindikasikan keseimbangan pasokan dan permintaan global yang cenderung berlebih.

Sentimen lain yang turut memperberat harga minyak berasal dari laporan terbaru American Petroleum Institute (API) untuk penutupan pekan yang berakhir 12 November. API melaporkan peningkatan stok minyak mentah AS sebesar 1,3 juta barel, sebuah indikasi jelas akan lesunya permintaan di pasar minyak Amerika Serikat. Para pelaku pasar kini menantikan rilis laporan stok resmi dari pemerintah untuk konfirmasi lebih lanjut.

Sementara itu, OPEC dalam laporan bulanannya yang dirilis pada hari Rabu, memproyeksikan permintaan minyak mentah akan mencapai 43,0 juta bph pada tahun 2026. Jika OPEC dan sekutunya mempertahankan produksi di tingkat Oktober saat ini, yaitu 43,02 juta bph, maka akan terjadi surplus kecil sebesar 20.000 bph. Proyeksi ini sekaligus merevisi pandangan OPEC sebelumnya yang memperkirakan defisit pasokan pada tahun 2026. “Untuk itu, aliansi produsen mempertimbangkan kemungkinan untuk menghentikan sementara kenaikan produksi pada kuartal pertama tahun 2026 untuk mengantisipasi kelebihan pasokan yang meluas,” terang Yoga.

Di sisi lain, Yoga juga menyoroti faktor dukungan terhadap harga minyak yang datang dari keputusan DPR AS pada hari Rabu yang menyetujui RUU pendanaan untuk lembaga-lembaga pemerintah, memperpanjangnya hingga 30 Januari. RUU tersebut kemudian disahkan oleh Presiden Donald Trump pada Kamis pagi. Pengesahan ini menandai dibukanya kembali pemerintahan AS, yang secara langsung dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan aktivitas ekonomi di negara konsumen minyak terbesar dunia tersebut.

“Melihat dari sudut pandang teknis, harga minyak berpotensi menemui posisi resistance terdekat di level US$ 61 per barel. Namun, apabila menemui katalis negatif maka harga berpotensi turun ke support terdekat di level US$ 56 per barel,” kata Yoga, memberikan gambaran level-level krusial yang perlu diperhatikan pelaku pasar minyak.

Pengamat Komoditas, Ibrahim Assuaibi, turut mengamati bahwa AS akan segera menghadapi musim dingin. Dengan demikian, pemerintah AS diperkirakan akan mengeluarkan pasokan minyak yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan selama musim tersebut. “Sangat wajar kalau harga minyak mentah terkoreksi karena sebelumnya sudah mengalami kenaikan, bahkan sempat mencapai level tertinggi di tahun ini di US$ 61,13 per barel,” ujar Ibrahim.

Ibrahim memperkirakan koreksi harga minyak saat ini dapat bersifat sementara. Ia meyakini harga minyak akan kembali naik seiring dengan momentum pemerintahan AS yang sudah berjalan kembali dan stabilitas ekonomi yang membaik, yang akan mendorong peningkatan kebutuhan minyak. Berdasarkan kondisi saat ini, Ibrahim memproyeksikan bahwa harga minyak mentah WTI dapat mencapai US$ 54,019 pada akhir tahun 2025 jika tren penurunan terus berlanjut. Namun, jika ekonomi di AS terus membaik dan bank sentral AS menggelontorkan stimulus ekonomi, maka harga minyak mentah WTI diperkirakan dapat mencapai US$ 74,146 per barel.