
Ussindonesia.co.id , JAKARTA — Wacana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2026, meski telah terangkum dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), masih berada dalam tahap pertimbangan mendalam oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kepastian implementasi kebijakan ini belum final, mengingat berbagai aspek yang perlu dikaji secara menyeluruh.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengungkapkan bahwa pihaknya masih memerlukan masukan berharga dari Kementerian Perindustrian serta perwakilan industri makanan dan minuman (Mamin). Kekhawatiran utama adalah potensi dampak negatif kebijakan cukai MBDK terhadap sektor industri yang krusial ini. “Paling tidak ada 6 juta orang yang bekerja di sektor produksi makanan minuman ini. Jadi tentunya kami harus juga banyak mendengar,” tegas Febrio kepada awak media pada Senin (17/11/2025), menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi pelaku usaha dan pekerja.
Meskipun demikian, Kemenkeu menyambut baik dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah memberi lampu hijau bagi rencana implementasi cukai MBDK. Namun, otoritas fiskal ini menyatakan akan terus memantau dinamika perekonomian ke depan. Febrio berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 dapat terekselerasi mencapai setidaknya 5,5%, guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Kondisi ekonomi yang kuat diharapkan dapat membuat pengenaan cukai MBDK menjadi lebih kondusif dan meminimalkan gejolak. “Supaya kebijakannya nanti enggak salah,” imbuhnya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Febrio juga menjelaskan bahwa salah satu pendorong utama di balik rencana pengenaan cukai MBDK adalah lonjakan tagihan BPJS Kesehatan. Kemenkeu saat ini tengah menanti formulasi kebijakan yang lebih konkret dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait dampak konsumsi gula berlebihan terhadap kesehatan masyarakat. Ia menyoroti diskusi yang sering mencuat tentang dampak signifikan gula bagi kesehatan dan implikasinya terhadap anggaran negara, khususnya terkait beban BPJS. “Ketika semakin banyak masyarakat yang apakah penyakitnya berkaitan dengan gula,” jelas Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Lebih lanjut, Febrio memaparkan bahwa fenomena pengenaan cukai MBDK bukan hal baru di kancah global. Sebanyak 115 negara atau yurisdiksi di seluruh dunia telah menerapkan pungutan serupa. Di kawasan Asia Tenggara, sejumlah negara tetangga seperti Kamboja, Laos, Brunei, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Timor Leste telah lebih dulu memberlakukan cukai ini. Rata-rata pungutan yang diterapkan di negara-negara ASEAN tersebut mencapai Rp1.771 per liter, angka yang tak dimungkiri menjadi acuan penting bagi pemerintah Indonesia dalam merumuskan tarif cukai yang akan dikenakan. “Nah ini nanti akan tentunya menjadi acuan supaya kami bisa melihat pentahapannya, ketika kami punya ruang untuk menetapkan ini sebagai sumber penerimaan negara, sekaligus sebagai instrumen untuk mengendalikan konsumsi,” ujarnya, menjelaskan dual fungsi kebijakan ini.
Penolakan Pengusaha: Kekhawatiran Terhadap Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyuarakan keberatan dan mendesak pemerintah untuk lebih memprioritaskan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi sebelum mengimplementasikan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Ketua Umum Gapmmi, Adhi S. Lukman, menegaskan bahwa jika cukai ini diberlakukan, dampaknya akan langsung terasa pada peningkatan harga jual produk akhir, yang pada gilirannya akan membebani konsumen secara signifikan. “Kondisi ekonomi begini kita fokus di pertumbuhan ekonomi dulu. Nanti setelah pertumbuhan ekonomi bagus, coba kita lihat nanti. Ya pasti akan memberatkan konsumen pasti dan menurunkan daya saing juga,” kata Adhi, Senin (17/11/2025).
Para pengusaha khawatir, kenaikan harga snack dan minuman ringan akibat cukai akan semakin menekan daya beli masyarakat yang saat ini masih rendah dan belum sepenuhnya pulih. Adhi menilai, pembebanan tambahan pada masyarakat justru berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai alternatif, Gapmmi justru fokus pada upaya edukasi kepada masyarakat mengenai risiko konsumsi gula berlebihan. “Makanya kita berusaha untuk bersama pemerintah, kita berusaha memberikan edukasi ke konsumen untuk mengontrol sendiri konsumsinya itu. Itu yang paling penting,” pungkasnya, menunjukkan pendekatan yang lebih persuasif daripada regulatif.