Ussindonesia.co.id JAKARTA. Kinerja emiten farmasi bervariasi dan cenderung lesu hingga Juni 2025. Kendati demikian, analis melihat masih ada sejumlah saham yang layak untuk dikoleksi investor.
Tengok saja PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), yang membukukan laba bersih sebesar Rp 2,02 triliun. Perolehan ini meningkat 10,77% secara tahunan (YoY) dibanding laba di periode sama tahun sebelumnya yakni Rp 1,83 triliun. Penjualan KLBF juga ikut terangkat 4,5% YoY senilai Rp 17,07 triliun dari Rp 16,32 triliun.
Di sisi lain, PT Industri Jamu dan Farmasi Sidomuncul Tbk (SIDO) mencatat penurunan laba bersih sebesar 1,31% YoY menjadi Rp 600,46 miliar dari Rp 608,49 miliar. Seiring dengan penurunan itu, penjualan SIDO ikut menyusut 3,57% YoY dari sebelumnya Rp 1,89 triliun menjadi Rp 1,82 triliun.
Bila dibedah, seluruh segmen penjualan SIDO kompak mengalami penurunan. Misalnya, produk farmasi yang semula terjual Rp 66,19 miliar berkurang menjadi Rp 62,85 miliar.
Perluasan Pasar Jadi Harapan Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO)
Ini juga terjadi pada penjualan jamu herbal dan suplemen, dari semula Rp 1,11 triliun menjadi Rp 1,07 triliun. Begitu pula pada produk makanan dan minuman SIDO yang terjual Rp 686,48 miliar dari setahun sebelumnya Rp 716.70 miliar.
Direktur Utama PT Industri Jamu dan Farmasi Sidomuncul Tbk (SIDO) David Hidayat mengungkap, melemahnya kinerja SIDO memang sejalan dengan konsumsi domestik yang kurang bergairah.
“Penurunan tersebut dikarenakan pelemahan konsumsi rumah tangga serta kondisi makroekonomi yang kurang baik selama semester pertama 2025,” jelas David kepada Kontan, Jumat (1/8/2025).
Untuk menambalnya, SIDO kata dia akan memperkuat penetrasi produk baru dan unggulan. Selain itu, SIDO juga akan meningkatkan efisiensi biaya serta ekspansi ke pasar internasional.
Sebagai informasi, SIDO tengah mengembangkan pangsa pasarnya di sejumlah wilayah mulai dari Indochina, Semenanjung Arab, dan Afrika. Saat ini, SIDO telah mendistribusikan produk unggulannya seperti Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G! ke lebih dari 30 negara, dengan pasar terbesarnya yakni Malaysia, Nigeria, dan Filipina.
Dengan memfokuskan ekspansi pada perluasan distribusi di modern trade dan general trade, peluncuran produk baru yang menyasar konsumen muda, berikut juga ekspansi jangkauan ekspor, SIDO sudah menyerap capital expenditure (capex) sebesar Rp 21 miliar dari yang dianggarkan sebesar Rp 150 miliar-175 miliar tahun ini.
Perluasan Pasar Jadi Harapan Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO)
Dengan begitu David optimistis, laba dan penjualan SIDO bisa tumbuh lebih dari 5% di akhir tahun 2025.
Beralih ke emiten lain, PT Phapros Tbk (PEHA) berhasil membalik kerugian sebesar Rp 49,84 miliar di semester I 2024 menjadi laba senilai Rp Rp 2,45 miliar per Juni 2025. Pertumbuhan ini ditopang oleh kenaikan penjualan yang mencapai 24,58% YoY, yakni dari Rp 367,81 miliar menjadi Rp 458,22 miliar.
Yang masih gigit jari di semester I 2025 ini ialah PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC).
INAF membukukan rugi bersih sebesar Rp 43,55 miliar. Meski begitu, rugi itu sudah berkurang 52,27% YoY ketimbang kerugian sebesar Rp 101,93 miliar pada semester I tahun lalu. Namun, penjualan INAF minus 38,90% YoY yakni Rp 67,02 miliar dari Rp 109,71 miliar.
Adapun, laba bersih TSPC turun 16,75% YoY dari Rp 906,30 miliar ke Rp 754,48 miliar. Penjualannya pun minus 2,63% YoY dari Rp 6,77 triliun ke 6,59 triliun.
Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi menilai, kinerja emiten farmasi di semester I 2025 masih relatif lemah. Hal ini imbas tekanan volume penjualan, harga bahan baku tinggi, dan penurunan belanja kesehatan pemerintah.
“Tapi enggak semua kena, emiten yang punya diversifikasi produk bagus dan supply chain lengkap kayak KLBF cenderung stabil,” jelas Wafi.
Di semester II 2025, emiten-emiten ini menurut Wafi punya prospek yang beragam, ditopang berbagai sentimen positif dan negatif.
Positifnya, permintaan obat, khususnya obat generik, berpotensi pulih. Wafi juga melihat adanya peningkatan belanja kesehatan pemerintah, produksi varian obat baru, dan kenaikan angka ekspor produk kesehatan di semester II tahun ini.
Adu Kinerja Emiten Farmasi di Kuartal I 2025, Cermati Rekomendasi Analis Berikut
Sementara minusnya, kinerja emiten farmasi bisa terganggu dengan volatilitas nilai tukar rupiah, penurunan daya beli, dan mahalnya harga bahan baku untuk produksi obat maupun nutrisi.
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila juga sepakat akan hal itu. Tapi khusus untuk SIDO, Indy masih melihat peluang cerah berkat penjualan segmen herbalnya.
“Lihat strategi ekspansi untuk inovasi produk ke depannya, efisiensi biaya, dan juga perluasan pasar ekspor,” ujar Indy memperingatkan.
Dengan begitu, investor kata Indy bisa trading buy pada saham KLBF dengan target harga di rentang Rp 1.500 – Rp 1.600.
Wafi juga merekomendasikan saham KLBF dengan target harga Rp 1.650 dan SIDO Rp 500 per saham. Sementara itu, dia menyarankan investor untuk wait and see terhadap saham INAF, KAEF, dan PEHA.