Menyoal Angka IPO Susut, Utak-atik Free Float dan Napas Pasar Saham

Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Jumlah perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO) sejak 2023 terus menyusut. Dalam situasi ini, ketentuan saham free float akan dinaikkan bertahap yang diharap bisa memperlebar likuiditas pasar sehingga menarik minat perusahaan besar go public

Muaranya, kedalaman pasar akan menjadi bahan bakar berkelanjutan yang mendorong kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) agar tak hilang tenaga usai sepanjang tahun ini rutin cetak rekor all time high (ATH) baru hingga 14 kali.

Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengatakan turunnya jumlah IPO terjadi karena tantangan di level perusahaan, terutama non-lighthouse

: Analis Bongkar Biang Kerok Angka IPO di BEI Merosot Sejak 2023

“Tantangannya berat, banyak yang belum punya laporan keuangan dan profit yang cukup kuat, tata kelola dan transparansi belum siap seperti paparan publik, keterbukaan informasi, komite audit, sistem kontrol,” ujarnya, Rabu (19/11/2025).

Selain itu, tantangan lainnya berupa biaya IPO yang relatif mahal dibanding mencari pendanaan dari pinjaman bank. Faktor lainnya, pemilik perusahaan enggan melepas saham lebih besar ke publik karena takut hilang kontrol, sekaligus khawatir sahamnya nantinya sepi dan terancam suspensi akibat aturan free float.

Berikutnya, tantangan lain bagi perusahaan non-lighthouse IPO adalah perusahaan perlu menyusun narasi bagus untuk meyakinkan investor dan menjamin likuiditas di tengah ukuran aset yang kecil dan minat institusi yang terbatas.

“Penurunan jumlah IPO tidak semata-mata karena regulasi free float, tetapi kombinasi makro, valuasi, dan terbatasnya perusahaan yang benar-benar siap,” ujar Liza.

Sesuai regulasi yang berlaku saat ini, perusahaan tercatat agar dapat tetap tercatat di bursa harus memenuhi persyaratan jumlah saham free float paling sedikit 50 juta saham dan paling sedikit 7,5% dari jumlah saham tercatat.

: : BEI Incar 6 IPO Perusahaan Lighthouse pada 2026, Berharap dari BUMN?

Sementara bagi perusahaan yang akan go public, jumlah saham free float akan disesuaikan berdasarkan ekuitas yang dimiliki calon perusahaan tercatat. Untuk perusahaan dengan nilai ekuitas kurang dari Rp500 miliar, saham free float paling sedikit 20% dari jumlah saham yang akan dicatat di bursa.

Sedangkan, bagi perusahaan dengan ekuitas mulai dari Rp500 miliar hingga Rp2 triliun saham free float minimal 15% dari jumlah saham yang akan dicatat di bursa, serta untuk perusahaan dengan ekuitas lebih dari Rp2 triliun saham free float minimum sebesar 10%.

Saat ini, regulator tengah menggodok kenaikan ketentuan free float secara bertahap dari 10% menjadi 25%. Selain itu, basis perhitungan free float akan mengacu pada kapitalisasi pasar, bukan pada ekuitas perusahaan.

Liza menilai, penyesuaian ketentuan tersebut memang bisa menahan niat go public dalam jangka pendek, tetapi secara jangka menengah–panjang kebijakan ini dinilai berpotensi positif karena memaksa free float lebih besar, likuiditas lebih baik, dan membuat saham Indonesia lebih menarik untuk institusi besar terutama investor global.

Sementara itu, pengamat pasar modal, Reydi Octa menilai tantangan yang membuat jumlah perusahaan IPO semakin sedikit terutama disebabkan kesiapan perusahaan dari sisi fundamental, tata kelola dan transparansi laporan keuangan.

Menurutnya, banyak perusahaan kelas menengah belum memiliki rekam jejak untuk profitabilitas dan data yang cukup stabil untuk kebutuhan publik. Selain biaya IPO juga cukup mahal bagi emiten menengah, kesiapan internal pasca IPO yang menuntut keterbukaan dan terekspos publik turut membuat perusahaan menunda aksi go public.

Dia menuturkan kenaikan ketentuan free float membuat perusahaan mempertimbangkan untuk berhati-hati dalam melepas perusahaannya ke publik, terutama untuk perusahaan yang hanya berencana melepas kepemilikannya seminim mungkin.

“Namun, dalam jangka panjang pengetatan free float akan positif karena meningkatkan likuiditas dan menarik lebih banyak investor institusi, karena kepemilikan saham yang terkonsentrasi akan berkurang,” ujar Reydi.

Menjaga Napas Pasar Saham

Pendalaman dan keberlanjutan pertumbuhan pasar saham saat ini menjadi isu utama yang dibahas self regulatory organization (SRO). Pasalnya, meskipun perusahaan baru yang go public sepanjang tahun ini menyusut drastis, IHSG melaju kencang membuat rekor-rekor baru.

Indikator lain yang menjadi perhatian, komposisi kepemilikan aset di pasar saham saat ini menunjukkan tren yang berbalik, dari yang mulanya didominasi oleh investor asing kini menjadi investor domestik sejak 2021.

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, persentase kepemilikan investor asing pada 2021 sebesar 37,48%, dibandingkan kepemilikan domestik sebesar 62,52%. Tren ketimpangan tersebut terus berlanjut hingga 2025. Mengacu data terbaru yang, per 7 November 2025 kepemilikan aset oleh asing hanya 37,23%, dibandingkan lokal yang memiliki 62,77%.

Liza menilai, kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa pendalaman pasar masih menjadi pekerjaan rumah. Dia memotret, struktur emiten saat ini masih didominasi segelintir big caps, sementara banyak saham yang kurang liquid dan rawan suspensi karena freefloat dan lonjakan harga.

“Sehingga, agenda jangka menengah adalah menyeimbangkan pipeline IPO yang berisi lighthouse, BUMN, dan non-lighthouse, serta memperbesar basis investor institusi domestik. Danantara diharapkan jadi anchor,” ujar Liza. 

Berikutnya, menurut Liza yang perlu dilakukan adalah penyesuaian free float, memberikan insentif fiskal ke pasar modal, hingga edukasi pemilik usaha perlu dijalankan bertahap dan kredibel supaya pasar bukan hanya tinggi secara indeks, tapi juga dalam, likuid, dan tahan guncangan.

Sementara itu, Reydi melihat lonjakan IHSG salah satunya disebabkan oleh saham-saham emiten perbankan yang juga mulai rebound, sejalan dengan katalis positif berupa tren pemangkasan suku bunga global dan domestik. Namun, untuk pendalaman pasar dalam jangka panjang, menurutnya diperlukan variasi saham-saham dari emiten pendatang baru yang berkualitas.

“Jumlah IPO yang mengecil tentu akan mengurangi pilihan saham-saham baru di masa mendatang, likuiditas akan terpusat pada saham-saham tertentu saja,” pungkas Reydi.