Meski LQ45 tertinggal, manajer investasi masih optimistis saham blue chip rebound pada 2026

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan manajer investasi masih memandang positif terhadap prospek saham blue chip pada 2026. Kendati saham blue chip tampak tidak bertenaga sepanjang 2025, sejumlah katalis dinilai bakal mendorong rebound bagi saham-saham tulang punggung IHSG yang terkumpul dalam LQ45 itu.

Sepanjang 2025, kinerja sejumlah saham berkapitalisasi besar terlihat tertinggal dibandingkan saham lapis kedua. Indeks LQ45 hanya menguat 3,03% year to date (YtD) hingga perdagangan Kamis (18/12/2025), jauh di bawah kinerja SMC Composite yang melesat 49,73% pada periode yang sama.

Tekanan juga terlihat pada saham-saham perbankan besar. Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terkoreksi 16,80% YtD, disusul PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang turun 9,21% dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) melemah 7,60% YtD. Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) relatif stabil dengan koreksi tipis 0,23% YtD.

: Kalender Libur Bursa Efek Indonesia (BEI) Desember 2025, Perdagangan Saham Libur Panjang

Bank Mandiri (Persero) Tbk. – TradingView

Meski demikian, Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) tetap optimistis terhadap prospek saham blue chip. Chief Investment Officer Equity MAMI Samuel Kesuma menilai kinerja saham-saham tersebut pada 2026 berpotensi lebih baik dibandingkan 2025.

Samuel menyebut setidaknya terdapat tiga faktor yang berpeluang mendorong penguatan saham blue chip. Pertama, ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional yang dinilai akan berdampak positif terhadap pertumbuhan laba emiten-emiten besar.

: : Saham Lo Kheng Hong di Atas 5% dan Broker yang Digunakan, Sumbang Kekayaan Rp1,39 Triliun

Selain itu, valuasi saham blue chip saat ini dinilai relatif murah. Samuel bahkan menyebut valuasinya setara dengan periode pandemi Covid-19, dengan sejumlah konstituen IDX30 memiliki rasio price to earnings ratio (PER) di bawah 10 kali.

Faktor lainnya, pasar emerging market seperti Indonesia dinilai berpeluang kembali dilirik investor asing seiring tren diversifikasi global, terutama di tengah penguatan pasar yang masih terkonsentrasi pada sektor teknologi.

: : Memahami IEP dan IEV, Mekanisme Pembentukan Harga Saham di Bursa Efek Indonesia Cegah ‘Gorengan’

“Ketika prospek pertumbuhan ekonomi membaik dan minat investor asing kembali meningkat, saham blue chip akan menjadi pilihan utama untuk diakumulasi,” ujar Samuel, Jumat (19/12/2025).

Dengan pertimbangan tersebut, MAMI masih memasukkan saham-saham blue chip dalam strategi pengelolaan reksa dana saham. Pelemahan sepanjang 2025 dinilai lebih dipengaruhi oleh perlambatan kondisi ekonomi domestik.

“Memasuki 2026, kami justru melihat peluang akumulasi pada saham blue chip, khususnya di sektor finansial, consumer staples, dan materials,” kata Samuel.

Menurut dia, sektor finansial berpeluang rebound seiring potensi perbaikan pertumbuhan kredit dan penurunan biaya dana (cost of fund). Sementara sektor konsumer diperkirakan diuntungkan oleh membaiknya daya beli masyarakat, dan sektor material didukung oleh permintaan mineral yang masih kuat.

Pandangan senada disampaikan Direktur Panin Asset Management Rudiyanto. Ia menilai tertahannya kinerja saham blue chip sepanjang 2025 dipengaruhi oleh melemahnya fundamental emiten-emiten besar.

Menurut Rudiyanto, prospek saham blue chip ke depan akan sangat bergantung pada perbaikan kinerja fundamental. Meski demikian, saham perbankan tetap menjadi bagian dari portofolio reksa dana yang dikelola Panin.

“Saham perbankan tetap dalam portofolio, hanya memang untuk bisa tidak terlalu jauh dari kinerja pasar, perlu digabungkan dengan saham-saham lain,” ujarnya, Jumat (19/12/2025).

Namun, Rudiyanto mengingatkan masih terdapat sejumlah risiko yang membayangi saham blue chip pada 2026, antara lain ketidakmampuan emiten besar mencetak laba serta kebijakan pemerintah yang dinilai kurang ramah terhadap dunia usaha.

Risiko juga datang dari faktor global. MAMI menilai kebijakan Amerika Serikat serta dinamika geopolitik global masih berpotensi memengaruhi sentimen pasar. Risiko tersebut sempat tercermin pada April 2025 ketika pengumuman tarif oleh Presiden AS Donald Trump mendorong IHSG jatuh hingga ke level 5.967,99.

 _________ 

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.