
Ussindonesia.co.id JAKARTA — Indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan menembus level psikologis baru pada tahun depan, yakni di atas 10.000. Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi katalis utama yang menopang proyeksi tersebut.
Mirae Asset Sekuritas Indonesia menjadi salah satu yang memandang peluang penguatan tersebut. Manajer investasi dengan kode broker YP itu memproyeksikan IHSG menyentuh 10.500 pada 2026. Target ini ditopang stabilitas ekonomi dan peluang lanjutan kebijakan moneter longgar dari bank sentral.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto mengatakan pasar saham Indonesia diyakini bergerak positif, sejalan dengan ekspektasi stabilitas makroekonomi dan perbaikan kinerja emiten. Mirae Asset memproyeksikan ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga 5,3% pada 2026.
: Pesona Saham Keluarga Bakrie, Saat Emiten 7 Samurai Manggung Kembali (BUMI, BRMS, Hingga ENRG)
“Terdapat pemulihan ekonomi lebih cepat sejak kuartal IV/2025, juga kuartal I/2026 yang diakselerasi oleh tren musiman seperti ramadan dan lebaran. Ini kemudian mendorong PDB [produk domestik bruto] yang lebih tinggi serta mendorong performa emiten,” kata Rully, Kamis (4/12/2025).
Dari sisi eksternal, kebijakan moneter longgar global dinilai memberikan peluang alokasi investasi baru. Menurut Rully, Fed Fund Rate (FFR) bisa turun minimal dua kali pada 2026. “Ini kemudian memberi ruang BI [Bank Indonesia] turunkan suku bunga acuannya,” ujarnya.
: : Semarak IPO Desember, Menunggu 13 Kejutan Bersama SUPA
Ia menambahkan, pertumbuhan kredit diproyeksikan mencapai 10% pada 2026 sehingga dapat mendorong pergerakan saham-saham perbankan. Namun, ia mengingatkan volatilitas nilai tukar rupiah menjadi tantangan.
Senior Research Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Muhammad Farras Farhan menyatakan IHSG berpotensi terdorong oleh penguatan saham perbankan dan saham konglomerasi. “Target proyeksi IHSG itu juga ditopang beberapa faktor, dari pertumbuhan ekonomi yang mendorong sektor perbankan, serta tren penguatan saham-saham konglomerasi yang masih berlanjut,” ujarnya.
: : ‘Genderang Perang’ Purbaya Melawan Saham Gorengan
Sepanjang tahun berjalan, IHSG pun menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG menguat 0,27% pada sesi pertama perdagangan Kamis (4/12/2025) ke level 8.635,23. Sepanjang tahun berjalan, indeks naik 21,97%. Mirae Asset sebelumnya menargetkan IHSG tahun ini berada pada 8.700, level yang kini hampir tercapai.
Optimisme serupa disampaikan Mandiri Sekuritas. Broker pelat merah dengan kode CC itu memperkirakan IHSG mencapai 9.050 pada 2026, dengan skenario bullish menuju 9.350.
Deputi Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Kresna Hutabarat, menilai sejumlah indikator ekonomi domestik mulai menunjukkan pemulihan. Efektivitas insentif fiskal dinilai dapat memperkuat kepercayaan investor dan menopang kinerja emiten. Ia juga mencatat perbaikan indikator penjualan semen curah, volume penjualan motor wholesales, serta kenaikan jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi sebenarnya kita sudah melihat ada indikasi-indikasi awal perbaikan yang menjadi pendukung sentimen positif di pasar saham kita ke depannya,” kata Kresna.
Astra International Tbk. – TradingView
Mandiri Sekuritas menjagokan sektor konsumer, perbankan, telekomunikasi, dan ritel menjadi pendorong utama, disusul alat berat, emas, dan tembaga. Sementara itu, sektor nikel, migas, otomotif, dan properti diberi peringkat netral.
Sementara itu, MNC Sekuritas memproyeksikan IHSG mencapai 9.000 pada 2026 untuk skenario bullish, dengan skenario dasar di 8.350 dan bear case di 7.600. Head of Research MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menilai dinamika moneter akan lebih tenang pada tahun mendatang.
“Kami perkirakan hal tersebut akan dipengaruhi oleh dinamika moneter global dan domestik,” ujarnya, Rabu (3/12/2025). Pemangkasan suku bunga ke depan diperkirakan dapat mendukung aktivitas pasar saham. Namun, ia mengingatkan potensi volatilitas rupiah masih menjadi risiko.
Herditya menambahkan, proyeksi IHSG juga mempertimbangkan fundamental ekonomi makro. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah di sekitar 5,3% dinilai menjadi motor penggerak penting bagi kinerja emiten. Sementara itu, risiko fiskal akibat program-program prioritas perlu dicermati karena berpotensi membebani sentimen investasi.
“Untuk pasar saham sendiri kami perkirakan akan dipengaruhi dari sisi regulasi pemerintah ke depannya, di mana bisa jadi akan mempengaruhi iklim investasi sehingga akan berpengaruh ke inflow asing,” ucapnya.
Proyeksi Manajer Investasi Asing untuk IHSG
Sejumlah pengelola dana global juga memandang IHSG dapat menembus 10.000 pada 2026. JP Morgan, misalnya, memperkirakan sektor materials, consumer staples, consumer discretionary, industrial, dan properti akan menjadi pendorong utama.
Dalam riset terbarunya, JP Morgan melihat belanja fiskal yang lebih tinggi dari APBN maupun Danantara akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi domestik. “Kami menetapkan target IHSG skenario dasar (base case) untuk akhir tahun 2026 di level 9.100, dengan target bull & bear masing-masing di 10.000 dan 7.800,” tulis tim riset JP Morgan.
JP Morgan juga memperkirakan tren pelonggaran moneter berlanjut, dengan penurunan suku bunga BI sebesar 50 bps pada 2026. Namun, volatilitas rupiah disebut sebagai risiko utama karena dapat menekan kepercayaan pelaku usaha atau konsumen.
Saham-saham pilihan JP Morgan untuk 2026 mencakup BBCA, ASII, ICBP, ANTM, GOTO, serta deretan emiten kapitalisasi menengah seperti ISAT, EMTK, JSMR, MAPI, dan PWON.
Sebelumnya, analis Citigroup Inc. juga memperkirakan IHSG melaju sekitar 10% dan menyentuh rekor tertinggi baru pada 2026. Dorongan diperkirakan berasal dari belanja pemerintah dan penurunan suku bunga.
Riset Citi menyebut IHSG berpeluang naik ke level 9.250 dari sekitar 8.363 saat ini. “Seiring rencana belanja pemerintah yang diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tulis para analis Citi.
Pemulihan perbankan diperkirakan terus berlanjut didorong likuiditas yang membaik dan biaya pendanaan lebih rendah. Saham AMRT, MYOR, BRIS, BBNI, dan BBRI diperkirakan diuntungkan. Sementara itu, rupiah yang melemah sekitar 3,5% sepanjang tahun ini menjadi tantangan tersendiri.
Para analis Citi memandang depresiasi rupiah dapat berlanjut dalam jangka pendek karena Bank Indonesia memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang stabilitas nilai tukar, ditambah tekanan pada neraca perdagangan akibat gangguan di tambang Freeport-McMoRan Inc.