Ussindonesia.co.id , JAKARTA – Gejolak hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memicu riak negatif di pasar komoditas global, dengan harga minyak dunia mengalami koreksi signifikan. Pada perdagangan Jumat (10/10/2025), harga minyak Brent dan minyak mentah AS anjlok lebih dari US$2 per barel, atau lebih dari 3%, mencapai level terendah sejak Mei 2025.
Dampak dari ketegangan global ini segera merambat ke lantai bursa domestik, menyeret saham-saham sektor minyak dan gas (migas) ke zona merah pada penutupan pekan lalu. Saham PT Super Energy Tbk. (SURE) misalnya, terpangkas 1,09% menjadi Rp2.710, diikuti oleh PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA) yang melemah 2,21% ke Rp1.105, dan PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) yang turun 2,30% menjadi Rp1.490.
Di sisi lain, saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) dan PT Energi Mega Persada Tbk. (ENRG) mampu bertahan stagnan, masing-masing di level Rp1.705 dan Rp960, menunjukkan ketahanan di tengah sentimen negatif pasar.
: Dukung Transisi Energi, Medco Energi (MEDC) Kurangi Konsumsi Bahan Bakar Gas
Meskipun pasar bergejolak, sejumlah saham migas masih menarik perhatian analis dengan rekomendasi positif. Untuk Energi Mega Persada (ENRG), data dari Bloomberg Terminal menunjukkan konsensus yang kuat; keempat analis (100%) merekomendasikan ‘buy’. Harga ENRG saat ini bahkan telah melampaui target konsensus Rp848,33, sementara riset terbaru Verdhana Sekuritas menetapkan target lebih tinggi di Rp1.120.
Sementara itu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) mendapat rekomendasi ‘buy’ dari 9 dari 24 analis (37,5%) dengan target harga Rp1.774, menyiratkan potensi keuntungan sekitar 5,9% dari harga Rp1.675. Sebagian besar analis lainnya (14 atau 58,3%) memilih rekomendasi ‘hold’.
Medco Energi Internasional (MEDC) juga menunjukkan daya tarik kuat di mata investor, dengan 19 dari 20 analis (95%) merekomendasikan ‘buy’. Target harga konsensus mencapai Rp1.654, menawarkan potensi pertumbuhan sekitar 6% dari harga Rp1.560. Khususnya, salah satu analis dari Macquarie Sekuritas Indonesia bahkan memberikan rating ‘outperform’ dengan target ambisius Rp2.200, meskipun 1 analis lain merekomendasikan ‘hold’.
Adapun PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA), 20 dari 21 analis (95,2%) mengeluarkan rekomendasi ‘buy’, dengan target harga Rp1.582. Angka ini menjanjikan potensi pengembalian fantastis sebesar 43,8% dari harga Rp1.100, meskipun harga saham AKRA tercatat telah turun 22,8% dalam 12 bulan terakhir. Hanya satu analis yang menyarankan ‘hold’.
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia, Axell Ebenhaezer, mengupas lebih dalam fenomena ini, menjelaskan bahwa pasar minyak dunia saat ini dihantui oleh perlambatan tajam di sisi permintaan global yang berbanding terbalik dengan lonjakan pasokan.
: : Adu Ekspansi Emiten Migas Keluarga Panigoro (MEDC) dan Grup Bakrie (ENRG)
Proyeksi permintaan minyak global, seperti yang diungkapkan Axell dalam risetnya yang dikutip Senin (13/10/2025), diperkirakan hanya akan tumbuh 680.000 barel per hari (bpd) pada 2025 dan sekitar 700.000 bpd pada 2026. Angka ini jauh di bawah ekspektasi sebelumnya, menandakan tekanan serius pada sektor ini.
Perlambatan permintaan ini terutama bersumber dari China, negara yang terlibat dalam ketegangan dagang dengan AS, di mana aktivitas industri dan konsumsi bahan bakar transportasi menunjukkan pelemahan signifikan. Kondisi serupa juga teramati di pasar-pasar kunci lainnya seperti India dan Brasil.
Berbanding terbalik dengan permintaan yang melambat, pasokan minyak justru mengalami peningkatan yang lebih cepat. Badan Energi Internasional (IEA) merevisi naik proyeksi pasokan global menjadi 2,5 juta bpd pada 2025 dan 1,9 juta bpd pada 2026. Lonjakan suplai ini didorong oleh berakhirnya pembatasan produksi OPEC+ sebesar 547.000 bpd mulai September 2025, serta peningkatan produksi dari negara-negara non-OPEC seperti AS, Kanada, Brasil, dan Guyana.
IEA bahkan mengeluarkan peringatan serius: ketidakseimbangan yang terjadi, di mana pertumbuhan pasokan tiga kali lebih cepat dari permintaan, berpotensi memicu surplus minyak terbesar dalam sejarah pada tahun 2026. Skenario mengerikan ini hanya dapat dihindari jika terjadi gangguan geopolitik besar, seperti sanksi baru yang menargetkan Rusia atau Iran.
Implikasi dari kondisi global ini tidak terhindarkan merembet ke industri migas domestik Indonesia, yang notabene masih sangat bergantung pada pasokan impor. Axell menyoroti penurunan berkelanjutan dalam produksi minyak mentah Indonesia, yang anjlok dari 772.000 barel per hari pada 2018 menjadi hanya 580.000 bpd pada 2024.
Tekanan pada pasar minyak Indonesia kian terasa akibat produksi yang belum mampu mengimbangi terus meningkatnya permintaan domestik, memaksa negara untuk semakin mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhannya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.