Ussindonesia.co.id , JAKARTA – The Federal Reserve (The Fed) akan menggelar rapat kebijakan pekan depan di tengah penutupan pemerintahan federal (government shutdown) yang menghambat publikasi data ekonomi penting, sehingga menyulitkan bank sentral AS menilai arah inflasi dan pasar tenaga kerja.
Melansir Reuters pada Selasa (21/10/2025), pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 3,75%–4,00% pada rapat kebijakan 28–29 Oktober mendatang.
Namun, Kepala Ekonom Pasar Negara Maju Nomura David Seif menilai, para pembuat kebijakan kini dinilai “terbang tanpa radar”.
: Suku Bunga Efektif The Fed Naik untuk Ketiga Kalinya dalam Sebulan
“Pertanyaan besar saat ini adalah apa yang terjadi di pasar tenaga kerja — dan kita tidak akan tahu sampai laporan ketenagakerjaan terbaru dirilis,” ujarnya, merujuk pada data yang tertunda akibat shutdown dan terakhir diperbarui pada awal September.
Data ketenagakerjaan resmi belum dirilis sejak penutupan pemerintahan dimulai pada 1 Oktober 2025. Namun, informasi terbatas yang tersedia menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja masih lemah.
: : Sinyal Terbaru The Fed Siap Pangkas Suku Bunga pada FOMC Oktober 2025
Laporan lapangan The Fed sendiri mengindikasikan potensi perlambatan belanja konsumen, sementara survei kepercayaan bisnis terbaru juga mencatat penurunan.
Meski demikian, sejumlah pelaku usaha memperingatkan potensi kenaikan harga di tengah inflasi yang masih bertahan di atas target 2%. Seiring meningkatnya investasi bisnis dan rencana kebijakan pajak baru yang dapat menambah pendapatan rumah tangga tahun depan, proyeksi pertumbuhan ekonomi pun direvisi naik.
: : Lima Nama Masuk Radar Trump untuk Ketua The Fed Pengganti Powell
Ketua The Fed Jerome Powell dan sejumlah pejabat tinggi lainnya terus menyoroti pasar tenaga kerja, di mana pertumbuhan lapangan kerja anjlok menjadi rata-rata hanya 29.000 per bulan dalam periode Juni–Agustus, jauh di bawah level pra-pandemi.
Sementara itu, kekhawatiran baru muncul setelah dua bank besar melaporkan potensi kerugian kredit yang mengguncang pasar saham, ditambah memanasnya kembali tensi dagang AS–China yang berpotensi mengguncang stabilitas perdagangan global.
Departemen Tenaga Kerja AS dijadwalkan merilis data inflasi (CPI) September pada 24 Oktober setelah sebagian pegawai dipanggil kembali untuk memastikan data tersebut tersedia sebagai dasar penyesuaian tunjangan sosial.
Survei Reuters memperkirakan CPI naik 3,1% secara tahunan pada September, naik dari bulan sebelumnya, sehingga memperkuat alasan bagi sebagian pejabat The Fed untuk menahan laju pemangkasan suku bunga.
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) — acuan utama inflasi The Fed — naik dari 2,3% pada April menjadi 2,7% pada Agustus. The Fed memperkirakan inflasi akan mencapai 3% di akhir 2025 sebelum menurun tahun berikutnya.
Namun, sejumlah pejabat memperingatkan risiko inflasi yang berlarut-larut jika masyarakat dan pelaku usaha mulai terbiasa dengan laju kenaikan harga di atas target.
Presiden The Fed Kansas City Jeffrey Schmid menilai suku bunga saat ini masih berada di “level yang tepat” untuk menekan inflasi. Namun, tingkat tekanan yang efektif masih menjadi bahan perdebatan — apalagi di tengah terbatasnya aliran data ekonomi akibat shutdown.
Perbedaan pandangan antarpejabat The Fed semakin mencolok — mulai dari Schmid yang hawkish terhadap inflasi, hingga Gubernur Stephen Miran yang menilai suku bunga terlalu tinggi dan inflasi akan segera menurun. Namun, seluruh pandangan itu bergantung pada ketersediaan data resmi pemerintah.
Meski The Fed masih dapat memantau kondisi ketenagakerjaan melalui data klaim pengangguran di tingkat negara bagian atau laporan swasta, alternatif untuk melacak inflasi jauh lebih terbatas. Data bulanan konsumsi, pengeluaran, serta laporan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartalan kemungkinan tidak akan tersedia jika shutdown berlanjut.
Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin mengatakan data alternatif seperti laporan transaksi kartu kredit memang berguna, tetapi tidak dapat menggantikan kelengkapan dan ketepatan data pemerintah.
“Sekitar 25% masyarakat berpendapatan rendah bahkan tidak memiliki kartu kredit. Jadi, datanya tidak mencerminkan kondisi ekonomi secara utuh,” ujarnya.
Laporan pemerintah, menurut Barkin, menyediakan detail penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami akar masalah ekonomi. Misalnya, pertumbuhan lapangan kerja yang lambat bisa berarti ekonomi sedang melemah, atau justru karena kekurangan tenaga kerja akibat kebijakan imigrasi yang ketat — perbedaan yang hanya dapat diidentifikasi melalui data resmi Departemen Tenaga Kerja.
Gubernur The Fed Christopher Waller menilai situasi saat ini sangat rumit, dengan data swasta menunjukkan perekrutan tenaga kerja masih lemah, sementara pertumbuhan ekonomi berpotensi menguat.
Dia mendukung pemangkasan suku bunga secara hati-hati sebesar 25 basis poin bulan ini, sambil menekankan bahwa langkah selanjutnya bergantung pada arah inflasi dan data tenaga kerja.
Sementara itu, Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari menilai para pengambil kebijakan masih bisa bertahan untuk saat ini di tengah shutdown pemerintah yang bekerpanjangan.
“Namun semakin lama shutdown ini berlangsung, semakin kecil keyakinan saya bahwa kami benar-benar memahami kondisi ekonomi dengan tepat,” jelasnya.