Ussindonesia.co.id JAKARTA. Aksi pembelian kembali atau buyback saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) marak terjadi pada September 2025. Bahkan, beberapa buyback terjadi pada saham blue chip. Saat buyback terjadi, apakah investor ritel juga perlu ikut beli atau malah jual?
Sejumlah emiten mengumumkan aksi korporasi berupa pembelian kembali saham atau buyback. Gelaran aksi ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif kepada pasar.
Berikut daftar emiten yang melakukan buyback saham pada September 2025 ini:
- PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) merencanakan buyback dengan nilai maksimal Rp 2,49 triliun, setara 10% dari total modal disetor.
- PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) melanjutkan buyback tahap II dengan dana sebesar US$ 50 juta atau sekitar Rp 815 miliar (dengan asumsi kurs Rp 16.300 per dolar AS).
- PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) menggelar aksi buyback dengan nilai masing-masing Rp 1 triliun.
- PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) buyback senilai Rp 200 miliar.
- PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) menyiapkan buyback hingga Rp 250 miliar.
- Emiten di sektor perkebunan kelapa sawit PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) juga berencana untuk melakukan buyback dengan nilai Rp 90 miliar.
Deretan Mobil Listrik yang akan Naik Harga Jika Insentif Pajak Dihentikan Tahun 2026
Sementara itu, saham blue chip adalah saham lapis satu yang telah berpengalaman lama di pasar modal. Saham blue chip biasanya berasal dari perusahaan dengan fundamental kinerja keuangan kuat serta memiliki nilai kapitalisasi pasar besar mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Di BEI, saham blue chip biasanya menjadi anggota indeks mayor seperti LQ45. Dari daftar rencana buyback di atas, yang termasuk LQ45 adalah ITMG, KLBF, MEDC dan TOWR.
Rekomendasi saham
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi mengatakan buyback saham umumnya dipandang positif bagi pemegang saham karena secara langsung mengurangi jumlah saham beredar, sehingga berpotensi meningkatkan valuasi per saham. Buyback juga mencerminkan keyakinan manajemen terhadap prospek kinerja perusahaan ke depan.
“Strategi ini biasanya dilakukan pada saat harga saham mengalami koreksi sehingga tidak hanya berfungsi sebagai penahan tekanan harga tetapi juga memungkinkan perusahaan untuk memperoleh kembali sahamnya pada valuasi yang relatif menarik,” kata Imam kepada Kontan, Kamis (18/9/2025).
Kendati begitu, Imam bilang mekanisme buyback umumnya bersifat pasif sehingga dampaknya terhadap kenaikan harga saham relatif terbatas.
“Efek utama justru berasal dari sentimen pasar atas aksi tersebut, bukan dari intensitas pembelian yang dilakukan perusahaan,” tambah Imam.
Oleh karena itu, bagi investor yang ingin memanfaatkan momentum buyback, penting untuk memperhatikan harga maksimum pembelian yang ditetapkan perusahaan agar tidak melakukan akumulasi pada level harga yang terlalu tinggi.
Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai aksi buyback pada dasarnya mencerminkan sinyal positif dari manajemen bahwa valuasi saham masih tergolong menarik. Buyback juga berpotensi meningkatkan laba per saham (EPS) sekaligus membantu menjaga kestabilan harga saham.
Namun, secara historis di BEI, buyback lebih efektif sebagai penahan tekanan jual ketimbang pemicu kenaikan harga signifikan, kecuali porsinya cukup besar terhadap kapitalisasi pasar.
“Berdasarkan historis, buyback yang dilakukan emiten besar seperti TOWR, KLBF, dan MEDC lebih banyak menjaga stabilitas harga ketimbang mendorong rally. Investor perlu memperhatikan besaran buyback terhadap market cap serta konsistensi eksekusi,” ujar Sukarno kepada Kontan, Kamis (18/9/2025).
Equity Research Analyst OCBC Sekuritas, Gani bilang aksi korporasi tersebut secara historis tidak menjamin adanya kenaikan harga saham. Dus, ia menyarankan investor untuk tetap mencermati kondisi fundamental perusahaan, makroekonomi dan sentimen lainnya yang berkaitan.
“Buyback bisa membantu stabilkan harga saham. Tapi tidak serta merta ada buyback, harga saham pasti naik atau turun,” jelas Gani kepada Kontan, Kamis (18/9/2025).
Sukarno menjelaskan, di antara emiten yang tengah melakukan buyback, KLBF dinilai defensif dengan valuasi moderat serta memiliki prospek jangka panjang yang stabil. TOWR dan MTEL relatif masih murah sehingga menarik bagi investor dengan strategi value investing.
Lalu, MEDC juga tergolong murah, dengan buyback dalam jumlah besar yang berpotensi menjadi katalis positif. Namun, kinerja perusahaan sangat dipengaruhi fluktuasi harga minyak. CSRA sebagai emiten berkapitalisasi kecil menjalankan buyback cukup signifikan yang bisa mengerek harga saham, meski risikonya juga cukup tinggi.
Sukarno saat ini merekomendasikan buy saham MTEL, TOWR dan MEDC di target harga masing-masing Rp 690, Rp 700 dan Rp 1.450 per saham.
Sementara Imam menilai TOWR menjadi salah satu emiten yang menarik untuk dicermati. Selain adanya program buyback, TOWR juga ditopang oleh fundamental yang solid.
Outlook pemangkasan suku bunga ke depan turut menjadi katalis positif bagi TOWR, mengingat karakter bisnisnya yang capital intensive sehingga sensitif terhadap biaya pendanaan.
Ia menyarankan untuk investor mencermati saham TOWR di area Rp 560-Rp 585 sebagai entry area dengan target terdekat di Rp 630 lalu Rp 680.
Adapun Gani menjatuhkan pilihannya pada saham KLBF dan MEDC dengan rekomendasi buy dan target harga masing-masing di level Rp 1.560 dan Rp 1.600 per saham.
Tonton: Prabowo Resmi Naikkan Gaji Pejabat, ASN Guru dan TNI/Polri di 2025