Ussindonesia.co.id , JAKARTA – PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) memberikan penjelasan soal kabar dugaan rekayasa dalam proses akuisisi 51% saham di era mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang terkait dengan Bantuan Likuiditas BI pada masa krisis moneter 98.
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dengan tegas membantah tudingan adanya rekayasa dalam proses akuisisi 51% sahamnya di era kepemimpinan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Penjelasan resmi ini disampaikan langsung oleh manajemen BCA melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu, 20 Agustus 2025. Dalam dokumen yang ditandatangani oleh Corporate Secretary I Ketut Alam Wangsawijaya, manajemen BCA menyatakan informasi yang menyebutkan pembelian 51% saham BCA senilai sekitar Rp5 triliun melanggar hukum karena dugaan nilai pasar saat itu mencapai Rp117 triliun adalah informasi yang tidak benar.
Manajemen Bank Central Asia menjelaskan bahwa angka Rp117 triliun yang disebut-sebut itu sebenarnya merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan secara keseluruhan. Menurut BCA, nilai pasar perusahaan ditentukan secara lugas oleh harga saham yang diperdagangkan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar di publik. Ini adalah metrik standar dalam penilaian korporasi yang seharusnya tidak disamakan dengan total aset.
Lebih lanjut, BCA menerangkan bahwa setelah sukses melaksanakan IPO pada tahun 2000, harga saham BBCA secara alami terbentuk berdasarkan mekanisme pasar yang transparan. Kemudian, pada saat proses strategic private placement berlangsung, nilai pasar BCA berdasarkan rata-rata harga saham di Bursa Efek Indonesia berada di kisaran Rp10 triliun. Angka inilah yang kemudian menjadi acuan valuasi yang sah selama transaksi akuisisi, bukan angka Rp117 triliun seperti yang dituduhkan.
Dengan demikian, ditegaskan oleh BCA, nilai akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang berhasil memenangkan tender adalah cerminan akurat dari kondisi pasar yang berlaku kala itu. Proses tender sendiri, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), telah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, memastikan integritas seluruh prosedur.
: Diterpa Isu Bakal Diakuisisi Danantara, Saham Bank BCA (BBCA) Anjlok
Selain bantahan soal akuisisi, manajemen bank swasta terbesar di Tanah Air ini juga menepis informasi mengenai dugaan utang BCA kepada negara senilai Rp60 triliun yang katanya diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya. Informasi tersebut, menurut BCA, juga tidak benar dan menyesatkan. Dalam laporan neraca, BCA justru tercatat memiliki aset berupa obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun. Seluruh aset obligasi ini telah diselesaikan sepenuhnya pada tahun 2009, sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku, membuktikan tidak adanya kewajiban utang kepada negara.
Saham BBCA
Di tengah klarifikasi isu-isu yang beredar, saham BBCA justru menunjukkan pergerakan yang kurang menguntungkan di pasar. Pada perdagangan kemarin, Selasa, 19 Agustus 2025, BBCA mengalami penurunan paling signifikan dibandingkan dengan bank-bank besar lainnya seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI). Penurunan ini menarik perhatian investor dan pelaku pasar.
Secara spesifik, saham Bank Central Asia tercatat anjlok sebesar 2,30% dan ditutup pada level Rp8.500 per saham pada penutupan perdagangan. Diikuti oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) yang juga mengalami koreksi sebesar 1,94%, berakhir di level Rp4.040 per saham. Penurunan serupa juga dialami oleh saham-saham perbankan raksasa lainnya.
PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) mencatat penurunan sebesar 1,03%, ditutup pada level Rp4.800 per saham. Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) mengalami koreksi paling kecil di antara keempatnya, yaitu sebesar 0,92% menjadi Rp4.330 per saham. Pergerakan ini mengindikasikan adanya sentimen negatif yang memengaruhi sektor perbankan secara umum, dengan BBCA sebagai salah satu yang paling terdampak.
Bank Central Asia Tbk. – TradingView
Menanggapi anjloknya saham BBCA, Investment Analyst Ekky Topan memberikan pandangannya. Menurut Ekky, penurunan ini lebih dominan dipicu oleh sentimen dari berbagai isu yang beredar luas di pasar. Di antaranya adalah wacana mengenai kemungkinan pengambilalihan kembali 51% saham BBCA oleh pemerintah, serta sorotan publik yang intensif terkait kasus penyebutan rekening pribadi artis tanpa izin, yang sedikit banyak menyeret reputasi bank.
Ekky menjelaskan kepada Bisnis pada Selasa, 19 Agustus 2025, bahwa kedua isu tersebut memang menimbulkan kekhawatiran jangka pendek di pasar. Namun, ia menekankan bahwa isu-isu tersebut sejatinya tidak memiliki kaitan langsung dengan operasional inti dan kinerja fundamental perseroan. Ini mengindikasikan bahwa reaksi pasar lebih bersifat emosional dan spekulatif daripada berbasis pada kondisi perusahaan yang sebenarnya.
Dari sisi fundamental, Ekky menegaskan bahwa Bank Central Asia, yang merupakan bank swasta terkemuka milik Grup Djarum, masih menunjukkan kinerja yang sangat solid. Sebagai bukti, per Juli 2025, laba bersih bank tercatat sebesar Rp4,8 triliun, meskipun sedikit turun 2% secara tahunan (year on year/YoY). Namun, total laba bersih perseroan secara keseluruhan justru tumbuh signifikan sebesar 11% (YoY) mencapai Rp34,7 triliun, angka yang sudah mendekati 60% dari target konsensus untuk tahun 2025.
Oleh karena itu, pelemahan harga saham BBCA yang terjadi saat ini lebih mencerminkan reaksi pasar terhadap isu-isu eksternal yang bersifat temporer, bukan indikasi pelemahan fundamental. “Karena itu, saya menilai koreksi ini bersifat jangka pendek,” ujar Ekky, memberikan pandangan optimistis terhadap prospek jangka panjang saham tersebut.
Menurut Ekky Topan, jika arus dana asing kembali stabil dan sentimen negatif di pasar mereda, peluang teknikal beli justru akan terbuka lebar bagi investor yang cerdas. Namun demikian, kewaspadaan tetap menjadi kunci. Pasalnya, pergerakan saham BBCA memang sangat sensitif terhadap perkembangan isu-isu seputar reputasi perusahaan dan kebijakan pemerintah. Investor disarankan untuk tetap memantau perkembangan terkini dengan cermat.
Ringkasan
BCA membantah tudingan rekayasa dalam akuisisi 51% saham di era Megawati, menegaskan bahwa valuasi Rp117 triliun yang dipermasalahkan sebenarnya adalah total aset, bukan nilai pasar. BCA menjelaskan bahwa nilai pasar ditentukan oleh harga saham yang diperdagangkan, dan proses tender akuisisi oleh konsorsium FarIndo telah dilakukan secara transparan melalui BPPN.
Selain itu, BCA juga membantah memiliki utang Rp60 triliun kepada negara, melainkan memiliki aset obligasi pemerintah senilai tersebut yang telah diselesaikan pada tahun 2009. Terlepas dari klarifikasi ini, saham BBCA mengalami penurunan, yang menurut analis dipicu oleh sentimen isu pengambilalihan saham oleh pemerintah dan kasus penyebutan rekening pribadi, meskipun fundamental BCA tetap solid dengan laba bersih yang positif.