BI Proyeksikan Volume Transaksi Pembayaran Digital Tembus Rp147,3 Miliar pada 2030

Ussindonesia.co.id MANGUPURA – Bank Indonesia memproyeksikan volume transaksi pembayaran digital pada 2030 mencapai 147,3 miliar atau naik 4 kali lipat dibandingkan 2024.

Proyeksi tersebut sesuai dengan volume transaksi digital yang terus meningkat. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi BI-FAST hingga Agustus 2025 mencapai Rp24 kuadriliun dengan volume transaksi mencapai 9,18 miliar. 

Dalam sambutannya di acara PRIMA Executive Gathering 2025, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta, menjelaskan tingginya transaksi digital seperti BI Fast, QRIS tidak lepas dari berhasilnya implementasi Blueprint Sistem Pembayaran 2025 (BSPI) yang disusun sejak 2019, blueprint ini menavigasi sistem pembayaran nasional.

: Wow! Transaksi QRIS Kaltim Tembus 3 Digit, Merchant Tumbuh 715 Ribu

“Tentunya dengan koordinasi dan sinergi yang erat dengan berbagai pihak terkait, hasilnya luar biasa. Melalui berbagai inisiatif strategi seperti QRIS, BI-FAST, SNAP, elektronifikasi, sistem pembayaran nasional telah menuju era baru,” kata Filianingsih Hendarta, Kamis (23/10/2025). 

Selain itu, Fili juga menjelaskan proporsi transaksi sistem pembayaran berbasis NET mencapai 93% secara formal dan 83% secara digital. Menurutnya digitalisasi sistem pembayaran juga berkontribusi langsung pada peningkatan inklusi keuangan. 

: : Nominal Kartu Kredit Kaltim Naik, Transaksinya Justru Menyusut pada Kuartal II/2025

Sedangkan jumlah pengguna QRIS hingga Agustus 2025 mencapai 57,64 juta pengguna dan 40,53 juta merchant. Fili menyebut capaian ini mendorong peningkatan rasio inklusi keuangan yang menyentuh 75,02% berdasarkan Survei Nasional (Susenas). 

Fili juga menyebut, Generasi Z hingga Generasi Alpha bakal berperan penting dalam peningkatan transaksi pembayaran digital. Generasi tersebut merupakan generasi yang sudah terbiasa dengan dunia digital dan sistem pembayaran digital. 

: : Transaksi ATM Lesu, QRIS Laris Manis di Kaltim

Namun, di balik suksesnya implementasi sistem pembayaran digital, Fili menyebut terdapat tantangan dalam fraud dan sistem keamanan digital. Percepatan digitalisasi perlu diimbangi dengan penguatan literasi, keamanan, dan juga perlindungan konsumen. 

“Kejahatan fraud dan serangan cyber merupakan ancaman yang nyata dan semakin berkembang. Kerugian global akibat kejahatan cyber melonjak dari US$8,44 triliun pada tahun 2022 menjadi US$23,84 triliun pada tahun 2027. Kejahatan atau serangan cyber juga semakin kompleks, mulai dari middleware attack, account takeover, synthetic ID, deepfake atau AI-driven attack, dan social atau phishing attack yang menargetkan masyarakat umum. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan besar dari transaksi digital,” ujar Fili.