Fenomena siaran langsung atau Live TikTok kembali mencuri perhatian publik saat insiden penggerudukan dan penjarahan rumah anggota DPR, Ahmad Sahroni, pada Sabtu (30/8) sore. Momen krusial ini sontak menjadi viral, memicu pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya algoritma TikTok bekerja sehingga sebuah konten bisa tersebar luas dan menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet?
Meskipun Live TikTok memiliki potensi besar untuk menjangkau jutaan audiens melalui laman For Your Page (FYP), mekanisme pasti bagaimana siaran langsung bisa menembus halaman krusial ini masih menjadi misteri yang enggan diungkap oleh TikTok. Redaksi Katadata.co.id sendiri telah berupaya mengonfirmasi langsung kepada pihak TikTok mengenai cara kerja algoritma mereka, namun belum ada respons hingga berita ini diterbitkan. Bahkan, platform tersebut tidak memerinci hal ini secara gamblang di laman resminya.
Kendati demikian, sejumlah pakar dan analisis telah mencoba mengurai misteri ini. Melansir laman Delivered Social, satu kunci penting adalah TikTok memprioritaskan Live yang mampu menghasilkan keterlibatan tinggi hanya dalam beberapa menit pertama penayangan. Semakin banyak pengguna yang bergabung, berinteraksi melalui komentar, dan memberikan reaksi sejak awal, semakin besar peluangnya untuk direkomendasikan masuk ke halaman FYP. Potensi viralisasi ini semakin diperkuat oleh besarnya basis pengguna di Indonesia, yang per Juli lalu mencapai 194,37 juta jiwa, menurut data We Are Social dan Meltwater, sebuah angka yang terus melonjak signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyebaran konten yang masif ini tak lepas dari peran krusial kecerdasan buatan (AI) dan machine learning yang menjadi tulang punggung platform. Seperti disampaikan oleh penulis John Seabrook di Newyorker, algoritma TikTok sangat bergantung pada serangkaian tindakan pengguna seperti ‘suka’, komentar, dan lamanya waktu menonton video. Setiap interaksi penonton ini memberikan sinyal penting kepada sistem AI dan machine learning di balik aplikasi, yang kemudian mengukur tingkat keterlibatan secara cermat. Dengan kompleksitas perhitungan dan volume data yang diserap, kedua teknologi ini mampu mengidentifikasi pola dan membuat prediksi akurat, lalu merekomendasikan konten, baik video maupun Live, berdasarkan pola tersebut. Tak heran jika cara kerja AI secanggih TikTok terasa begitu sulit untuk dipahami secara menyeluruh.
Meskipun detail pastinya masih abu-abu, beberapa teori tentang algoritma TikTok telah berkembang. Salah satu yang paling dikenal adalah ‘teori batch’, yang menjelaskan bahwa sistem awalnya akan menampilkan konten baru kepada sekelompok kecil pengguna terpilih di berbagai belahan dunia. Jika video tersebut berhasil menarik perhatian dan mendapatkan respons positif dari kelompok awal ini, aplikasi kemudian akan memperluas jangkauannya ke kelompok pengguna yang lebih besar, lalu terus berulang ke kelompok-kelompok yang semakin masif. Dalam teori batch ini, metrik utama yang sering disebut-sebut adalah rasio ‘suka’ terhadap jumlah tayangan atau, bagi sebagian lainnya, apakah penonton menonton video hingga selesai. Kemungkinan besar, kombinasi dari semua faktor inilah yang berperan penting dalam penentuan viralisasi, meski TikTok sendiri hanya mengonfirmasi beberapa aspek tanpa detail yang jelas di situs resminya.
Lebih jauh, implikasi dari cara kerja algoritma ini juga sempat diulas dalam film dokumenter ‘The Social Dilemma’. Tristan Harris, mantan Design Ethicist di Google, menjelaskan bahwa algoritma media sosial dirancang secara fundamental untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, bukan semata untuk menyajikan informasi yang benar atau bermanfaat. Keterlibatan ini mencakup setiap klik, ‘suka’, komentar, dan durasi waktu menonton. Semakin lama pengguna bertahan dan berinteraksi di platform, semakin besar peluang iklan untuk masuk dan menyasar mereka. Harris menegaskan, jika pengguna bisa mengakses platform secara gratis, itu karena ‘perhatian’ mereka terhadap konten di dalamnya adalah produk berharga yang kemudian dijual kepada pengiklan. Senada dengan itu, mantan insinyur YouTube, Guillaume Chaslot, juga membeberkan bahwa algoritma YouTube, yang memiliki kemiripan, dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton. Hal ini seringkali membuat konten yang lebih ekstrem, sensasional, atau provokatif cenderung lebih sering direkomendasikan karena terbukti mampu membuat pemirsa bertahan lebih lama.
Melihat dampaknya yang begitu luas, tak heran jika dalam kasus di Indonesia, TikTok sempat mengambil langkah drastis dengan menonaktifkan fitur Live pada Sabtu (30/8) malam, tak lama setelah insiden rumah Ahmad Sahroni dijarah. Fitur tersebut akhirnya kembali dibuka pada Selasa (2/9). Menanggapi kejadian tersebut, TikTok menyatakan akan mempersiapkan upaya pengamanan tambahan dalam beberapa waktu ke depan. Namun, pihak platform belum memberikan penjelasan rinci mengenai bentuk pengamanan yang dimaksud. “Kami terus memantau situasi yang ada, dan memprioritaskan upaya dalam menyediakan platform yang aman dan beradab bagi para pengguna untuk berekspresi,” demikian pernyataan resmi dari TikTok.