JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat penurunan signifikan, anjlok 180,80 poin atau 2,27 persen ke level 7.771,28 pada penutupan perdagangan sesi I, Jumat (29/08). Penurunan tajam ini, menurut Pengamat sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana, merupakan imbas langsung dari sentimen negatif yang ditimbulkan oleh aksi demonstrasi yang marak terjadi di berbagai wilayah Jakarta.
“Penyebab utama tekanan ini bukan hanya faktor global, melainkan lebih pada kondisi domestik. Aksi massa yang merebak di Jakarta dan sejumlah daerah menjadi sentimen negatif karena secara fundamental meningkatkan ketidakpastian politik di Tanah Air,” ujar Hendra dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat. Pernyataan ini menggarisbawahi bagaimana gejolak internal memiliki daya ungkit yang besar terhadap pasar keuangan.
Hendra menjelaskan bahwa pasar modal memiliki sensitivitas yang ekstrem terhadap isu stabilitas. Begitu muncul potensi risiko keamanan dan politik, investor, baik asing maupun domestik, cenderung mengambil langkah defensif. Mereka memilih menahan diri atau bahkan melepas portofolio saham demi mengamankan posisi likuiditas, sebuah reaksi alami terhadap ketidakpastian yang membayangi.
Lebih lanjut, gejolak sosial ini diperparah oleh respons pemerintah yang dinilai belum tepat. Bukannya menjalin komunikasi terbuka dengan masyarakat untuk meredakan ketegangan, langkah yang muncul justru berupa imbauan Work From Home (WFH) bagi Anggota DPR. Kebijakan ini, menurut Hendra, menimbulkan persepsi yang kurang menguntungkan di mata publik dan pasar.
“Kebijakan WFH ini menciptakan persepsi bahwa pemerintah dan wakil rakyat lebih memilih untuk menjauh ketimbang mendengar aspirasi langsung dari masyarakat. Padahal, pasar sangat membutuhkan sinyal stabilitas dan kepastian yang kuat. Dalam dunia ekonomi, persepsi sering kali memiliki kekuatan pengaruh yang jauh lebih besar dibanding fakta di lapangan itu sendiri,” tegas Hendra, menyoroti pentingnya faktor psikologis dalam pergerakan pasar.
Tidak mengherankan apabila situasi domestik ini menjadi sorotan tajam media internasional. Investor global yang memantau kondisi Indonesia melihat adanya eskalasi ketidakpastian politik yang berpotensi berujung pada aksi jual massal di pasar keuangan. Pandangan eksternal ini menambah tekanan bagi pasar modal Indonesia yang tengah rentan.
Hendra memaparkan, apabila level IHSG melemah lebih dari area 7.800, risiko koreksi yang lebih dalam akan semakin terbuka lebar. Akibatnya, banyak pelaku pasar saat ini memilih strategi yang lebih defensif, sembari menanti kejelasan arah kebijakan dari pemerintah untuk mendapatkan kepastian.
“Namun, jika psikologis pasar terus menerus diganggu oleh ketidakpastian, pelemahan IHSG akan sulit dihindari, meskipun faktor fundamental ekonomi Indonesia pada dasarnya masih cukup kuat dan menjanjikan,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa sentimen negatif mampu mengungguli data-data ekonomi positif.
Ia kembali mengingatkan bahwa pelaku pasar selalu bekerja berdasarkan sentimen dan ekspektasi. Sekuat apa pun analisis fundamental yang ada, apabila persepsi investor terlanjur negatif, tekanan jual akan tetap terjadi dan sulit dibendung. Oleh karena itu, menjaga stabilitas sosial dan politik saat ini menjadi kunci utama untuk menahan pelemahan IHSG agar tidak semakin terpuruk dalam.
Pada penutupan perdagangan sesi I Jumat (29/08) tersebut, selain IHSG yang anjlok 180,80 poin atau 2,27 persen ke posisi 7.771,28, tercatat pula frekuensi perdagangan saham sebanyak 1.625.838 kali transaksi. Jumlah saham yang diperdagangkan mencapai 33,99 miliar lembar saham dengan nilai transaksi sebesar Rp13,31 triliun. Data menunjukkan bahwa hanya 89 saham yang mengalami kenaikan, sementara 662 saham menurun, dan 49 saham lainnya tidak mengalami perubahan nilai.