Joget DPR dan Mentalitas Kekuasaan di Indonesia

Di tengah situasi krisis ekonomi dan sosial, publik dikejutkan dengan pemandangan wakil rakyat berjoget di ruang kenegaraan yang semestinya dijaga kewibawaannya. Alih-alih menanggapi kritik masyarakat dengan rendah hati, sejumlah anggota DPR justru meresponsnya dengan nyinyir dan pedas. 

Ironisnya, di saat banyak rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, para wakil rakyat justru mengusulkan tunjangan perumahan hingga puluhan juta rupiah per bulan. Semua itu mungkin tak melanggar hukum, tapi jelas mencederai rasa keadilan publik. 

Di titik ini, wajar jika publik mulai bertanya: adakah nurani yang tersisa? Sebab jika empati telah mati dan rasa malu tidak lagi dikenal, mungkinkah perilaku semacam ini menyerupai wajah “psikopat”, namun dalam tubuh kekuasaan. 

Beberapa gejala psikopat yang diambil dari beberapa sumber, antara lain: kurangnya empati (lack of empathy), manipulatif dan sering berbohong (deceitfulness and repeated lying), tidak merasa bersalah (lack of remorse or guilt), gaya hidup parasit (parasitic lifestyle), berperilaku bertentangan dengan norma sosial (failure to conform to social norms).

Baca juga:

  • DPR Tak Temui Perwakilan Demonstrasi 25 Agustus, Ini Alasannya
  • Anggota DPR Usulkan KAI Sediakan Gerbong Khusus Merokok di Kereta
  • [Foto] Demo di DPR Ricuh, Massa Lempar Batu dan Bakar Ban

Lack of empathy adalah perilaku yang tidak peduli pada perasaan orang lain.  Joget di acara formal kenegaraan saat rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi mencerminkan tumpulnya rasa empati atas kesenjangan antara nasib rakyat dan gaya hidup elite. Permintaan tunjangan rumah selangit Rp50 juta per bulan yang bahkan dianggap “wajar” oleh wakil rakyat sendiri layaknya menuangkan bensin di tumpukan jerami kemarahan publik. 

Alih-alih membangun kepercayaan, justru memperparah hubungan dengan narasi yang merendahkan. Bukannya membenahi sistem jaminan sosial dan layanan publik, peningkatan tunjangan elite politik dilakukan saat mayoritas rakyat tidak punya akses terhadap perumahan layak. Ini layaknya menaikkan plafon rumahnya sendiri, sementara tetangga sekitarnya tidur beratapkan langit bocor.

Deceitfulness and repeated lying terjadi ketika kampanye, calon legislatif mengobral janji pro-rakyat. Rakyat dianggap penting hanya saat pemilu, didatangi, seolah-olah didengar suaranya, dan bahkan sering diberikan “asupan gizi elektoral” berupa bansos. Namun setelah berkuasa, rakyat dilupakan, tidak didengarkan dan bahkan dihina –ini bukan hanya memperlakukan rakyat sebagai alat bahkan bagaikan sampah dan penyakit. 

Lihatlah gedung wakil rakyat yang megah dikelilingi pagar kokoh yang justru menjadikannya pemisah antara rakyat dan yang diwakili. Ketika rakyat datang menagih janji, yang dulu didatangi, sekarang dikangkangi dengan barikade aparat. Pajak rakyat seharusnya bukan untuk membayar pagar kokoh dan aparat untuk menjaga rumah dewan, tetapi menggaji tokoh-tokoh yang peduli pada rakyat. 

Mendengarkan dan menjalankan aspirasi rakyat seperti menjadi barang haram, yang keluar justru aturan yang menyakiti hati publik –UU Ciptaker, UU Minerba, dan lainnya. Aspirasi akan ditampung adalah pernyataan klise yang tidak jelas kelanjutannya. Janjinya menyejahterakan dan melindungi rakyat –namun bukannya memberangus korupsi sebagai akar kemiskinan, KPK justru diperlemah, RUU Perampasan Aset tak kunjung disentuh. Pada awalnya mereka datang sebagai pelayan, tapi masuk ke dapur hanya untuk menguras semua lauk untuk dirinya sendiri.

Lack of remorse or guilt adalah ketika orang tidak memiliki rasa penyesalan atau bersalah atas tindakan yang menyakiti orang lain dan selalu mencari pembenaran untuk perilaku buruknya. Alih-alih minta maaf atas perilaku jogetnya, malah merespons dengan konten manari-nari oleh salah satu wakil rakyat yang menunjukan arogansi kekuasaan akut. 

Bukannya melakukan refleksi atas kegeraman masyarakat, seorang wakil rakyat justru menyebut rakyatnya “tolol” karena mengkritik. Ini bukan lagi sekadar ketidaksensitifan, melainkan sebagai bentuk perlawanan vulgar terhadap akal sehat publik. Rakyat menunggu pernyataan permintaan maaf secara tulus, dan hanya bisa berarti jika Badan Kehormatan DPR menyidang anggota-anggotanya yang telah berbuat dan mengeluarkan pernyataan yang menyakiti rakyat. 

Parasitic lifestyle adalah gaya hidup yang mengandalkan pihak lain secara manipulatif dan tidak adil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa timbal balik setara, atau bahkan dengan merugikan. Sebelum berkuasa mereka seolah “menyembah-nyembah” rakyat untuk memilihnya. Namun ketika berkuasa, mereka menikmati tunjangan, fasilitas, dan kemewahan dari uang rakyat, dengan kinerja yang dipertanyakan manfaatnya bagi rakyat. 

Ini adalah bentuk pemisahan antara tubuh kekuasaan dan jiwa pengabdian. Kekuasaan tidak lagi hadir sebagai pelindung, melainkan layaknya sebagai benalu yang tumbuh di pohon kedaulatan rakyat. Menuntut lebih banyak hak, padahal kontribusinya minim. Sering mereka tidak hadir sidang, memproduksi aturan bermasalah, bahkan menampilkan perilaku tak etis seperti berjoget diatas rakyat yang sedang luka.

Joget di ruang kenegaraan yang mestinya penuh wibawa dan kesopanan merupakan salah satu bentuk “failure to conform to social norms”. Dalam kerangka etika kebajikan, tindakan menghina rakyat dengan perkataan “tolol” bukan hanya keliru, tapi mencerminkan watak yang tidak layak untuk jabatan publik. 

Kepemimpinan menuntut karakter kesabaran menghadapi kritik, bijak dalam merespons, dan rendah hati untuk terus belajar. Tanpa itu, kekuasaan menjadi panggung bagi arogansi, bukan pengabdian. Tunjangan besar DPR mungkin sah secara hukum, namun secara moral ini merupakan pelanggaran keadilan publik, dimana masih banyak kemiskinan, susahnya mencari pekerjaan, PHK dimana-mana, harga kebutuhan pokok naik dan sebagainya. Mereka bagaikan hidup dalam gelembung hukum yang tidak lagi terhubung dengan keadilan sosial.

Kedaulatan Rakyat dan Kontrak Sosial yang Dikhianati

Kesimpulan, jika DPR adalah satu orang, maka ia akan menunjukkan profil psikopatik: tak berperasaan, manipulatif, tidak punya rasa bersalah, dan hidup dalam norma yang diciptakannya sendiri. Sosok yang seperti ini, bila berdiri di depan kita sebagai individu nyata, akan sangat berbahaya –bukan hanya untuk satu orang, tapi untuk seluruh konstituen yang diwakilinya. 

Metafora ini bukan sekadar kritik emosional, tapi refleksi atas jurang kepercayaan yang semakin dalam antara rakyat dan wakilnya. Jika gejala seperti ini terus dibiarkan, sistem demokrasi akan kehilangan rohnya — dan digantikan oleh representasi palsu yang hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang.

Tuntutan pembubaran DPR bukanlah pandangan yang “tolol” kalau kita mau berpikir. Hal ini dapat dipahami dalam kerangka kontrak sosial dan kedaulatan rakyat sebagaimana dikemukakan Locke dan Rousseau. Bagi Rousseau, kekuasaan politik hanya sah sejauh mencerminkan volonté générale (kehendak umum), dan lembaga perwakilan hanyalah instrumen, bukan penguasa atas rakyat. 

Ketika DPR abai terhadap penderitaan rakyat, kontrak sosial rusak dan legitimasi politiknya runtuh; unjuk rasa rakyat pun menjadi ekspresi kedaulatan yang asli. Karena itu, ekspresi massa harus dibaca sebagai teguran politik yang menuntut perombakan sistem representasi, misal mulai dari pemilu ulang hingga referendum langsung yang kini dimungkinkan teknologi digital. 

Paling tidak, proses voting di parlemen perlu dilakukan terbuka seperti praktik di Amerika Serikat agar rakyat dapat mengawasi pilihan tiap wakilnya, sehingga keputusan legislatif benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Jika wakil rakyat terus merayakan dirinya di atas penderitaan rakyat, maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar citra DPR, melainkan jiwa demokrasi itu sendiri.