KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Perjalanan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mencapai target ambisius penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering/IPO) di tahun 2025 tampaknya masih jauh dari harapan. Hingga tanggal 4 September 2025, BEI baru mencatatkan 22 emiten baru yang melantai di bursa, dengan total nilai emisi mencapai Rp 10,39 triliun.
Angka ini menunjukkan bahwa BEI baru mengamankan sekitar 33,33% dari target yang dicanangkan sebesar 66 emiten baru dalam setahun penuh. Dengan sisa waktu sekitar empat bulan di tahun 2025, BEI dihadapkan pada tantangan besar untuk menarik 44 emiten lagi guna mengejar target IPO tahun ini.
Kondisi pasar modal domestik yang kurang kondusif disebut-sebut sebagai biang keladi sepinya aktivitas IPO saat ini. Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menyoroti fenomena anomali di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan penguatan, namun di sisi lain, mayoritas saham justru mengalami pelemahan. Penguatan IHSG ini, menurut Teguh, lebih banyak didorong oleh saham-saham konglomerasi besar seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII) dan PT Dian Swastatika Santosa Tbk (DSSA).
Teguh juga menambahkan bahwa selain jumlah emiten yang minim, nilai emisi yang dihimpun melalui IPO sepanjang 2025 belum ada yang signifikan. IPO dengan nilai besar terakhir kali terjadi pada aksi korporasi PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) di akhir tahun lalu. Sementara itu, di tahun berjalan ini, sebagian besar IPO berasal dari perusahaan kecil atau grup konglomerat, tanpa ada yang benar-benar menonjol.
Antrean IPO besar yang dinanti-nanti, seperti PT Super Bank Indonesia milik Grup Emtek atau PT Pertamina Hulu Energi, masih memilih untuk menunggu momentum yang tepat. Hal ini disebabkan oleh kondisi pasar modal yang masih dibayangi oleh keluarnya investor asing dan pelemahan kinerja sejumlah saham.
Lebih lanjut, Teguh menggarisbawahi kebingungan yang timbul akibat kenaikan IHSG di tengah penurunan sebagian besar saham. “Kalau saham-saham turun, lalu IHSG turun itu sih pelaku pasar berharap IHSG akan naik lagi. Tapi bagaimana ceritanya kalau saham-saham turun sedangkan IHSG-nya naik. Analisanya jadi membingungkan,” kata Teguh kepada Kontan, Minggu (7/9).
Situasi paradoks ini memicu keluarnya investor asing dan membuat investor publik gamang untuk berinvestasi. Akibatnya, para penjamin emisi (underwriter) membaca kondisi pasar yang tidak menguntungkan dan menyimpulkan bahwa memaksakan IPO saat ini berisiko tinggi tidak terserap dengan baik, sehingga mereka memilih untuk menunggu hingga situasi lebih kondusif. “Saran saya IHSG jangan dibiarkan digoreng begini karena menimbulkan kebingungan. Dan kalau perusahaan mau IPO ya harus beneran bagus. Yang IPO dari kemarin kan kalau bukan perusahaan kecil engga jelas ya punya grup konglomerat,” tambah Teguh, yang kemudian memprediksi bahwa target 66 emiten IPO di tahun 2025 akan sulit tercapai.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan gambaran yang sedikit berbeda. OJK mencatat saat ini terdapat 10 perusahaan dalam pipeline IPO dengan potensi dana emisi sekitar Rp 6,18 triliun. Menurut Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pasar Modal, Derivatif Keuangan, dan Bursa Karbon OJK, 10 calon emiten tersebut telah menyampaikan pernyataan pendaftaran dan kini sedang dalam proses penelaahan.
“Jumlah tersebut diyakini akan bertambah. Mengingat rata-rata laporan keuangan periode Juni yang dilakukan audit secara menyeluruh akan selesai pada September,” jelasnya dalam konferensi pers, Kamis (4/9/2025). OJK juga terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas IPO melalui penyempurnaan regulasi. “OJK sedang mengkaji beberapa peraturan terkait penawaran umum untuk melakukan simplifikasi proses dan penyempurnaan ketentuan mengikuti perkembangan terkini,” ucap Inarno.
Sebagai langkah konkret, pada Juni 2025, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) 13/2025. Regulasi ini, antara lain, mengatur kewajiban bagi penjamin emisi untuk melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap calon emiten sebelum perusahaan menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada OJK, diharapkan dapat meningkatkan kualitas emiten yang akan melantai.