
Mandiri Sekuritas memproyeksikan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menyentuh 9.050 sampai 9.350 pada 2026. Head of Strategy and Equity Analyst Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer, menyatakan potensi ruang kenaikan tetap terbuka selama data-data pendukung terus mengalami perbaikan.
“Target kami 9.050, dengan bull case-nya di 9.350 (pada 2026). Kalau memang data poinnya terus direvisi ke atas, karena pada saat kami membuat indeks target ini, EPS growth-nya yang kami pakai masih di level 10 persen,” kata Adrian dalam Mandiri Sekuritas Economic and Market Outlook di Jakarta Selatan, Selasa (9/12).
Adrian mengungkapkan hingga akhir Oktober 2025, jumlah perusahaan di Indonesia yang melakukan aksi pembelian kembali atau buyback saham mencapai 93 emiten. Tingginya jumlah tersebut disebut sebagai yang paling agresif sejak masa awal pandemi COVID-19 pada 2020.
“Nah waktu itu (COVID) cuman 73 perusahaan. Saat ini ada 93 perusahaan dan ini baru sampai ke bulan Oktober. Belum kita bicara bulan November dan Desember (tahun 2025),” tutur Adrian.

Sementara itu, Direktur Utama Mandiri Sekuritas, Oki Ramadhana, menilai pergerakan IHSG ke level 9.000 hanya tinggal menunggu waktu. Apalagi, kata Oki, IHSG telah tercatat menembus All Time High (ATH) sebanyak 22 kali dalam beberapa bulan terakhir.
“Sekarang kita lihat aja udah berapa kali touch peak-nya, 20 kali. Jadi kalau bisa achieve 9.000 ya as a matter of time aja ya, saya yakin sih dengan kekuatan retail saat ini, kondisi pasar modal kita, itu most likely akan terus (naik),” kata Oki dalam kesempatan yang sama.
Oki menuturkan valuasi sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini masih tergolong murah, dengan rata-rata proyeksi pertumbuhan laba emiten atau EPS berada di kisaran 12 persen. Kondisi ini terutama terlihat pada banyak saham non-blue chip yang memiliki fundamental kuat.
“Ini momentum-nya sekarang luar biasa. Di akhir tahun, luar biasa. Pegang aja. Dari sekarang sampai tahun depan at least,” tutur Oki.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 5,2 Persen dan Rupiah Tembus Rp 16.800 per Dolar AS pada 2026
Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2 persen pada 2026. Chief Economist Mandiri Sekuritas, Rangga Cipta, mengatakan aspek keberlanjutan daya beli kelas menengah masih belum optimal pada 2025.
Namun, jika investasi dapat terealisasi pada 2026 dan penciptaan lapangan kerja berjalan, ia menilai akan muncul dorongan signifikan terhadap kelas menengah maupun menengah atas.
“Sehingga memang di 2026 kita melihat pertumbuhan PDB (Indonesia) improve ke 5,2 persen dari yang 5 persen di 2025,” kata Rangga dalam Mandiri Sekuritas Economic and Market Outlook di Jakarta Selatan, Selasa (9/12).

Meski begitu, Rangga menegaskan pada 2026 juga masih akan dipenuhi tantangan, terutama dari faktor eksternal. Penerapan tarif oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump diperkirakan tidak hanya menekan permintaan barang dari AS, tetapi juga berpotensi melemahkan permintaan global.
Rangga kemudian menyinggung soal nilai tukar rupiah, dengan memproyeksikan mata uang Tanah Air itu berada pada rata–rata Rp 16.800 per dolar AS pada 2026.
“Untuk tahun depan kita melihat secara rata-rata itu mungkin ada di kisaran 16.800. Tapi pelemahannya dibandingkan tahun ini mungkin nggak banyak. Rata-rata tahun ini mungkin sekitar 16.600, sehingga hanya sekitar 2 persen depresiasinya,” tutur Rangga.
Menurutnya, tekanan pelemahan rupiah akan terbatas karena dolar secara umum diperkirakan melemah terbatas, serta potensi peningkatan capital inflow ke pasar saham seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2026.
“Di tahun ini kita lihat secara year to date, itu lebih banyak asing yang keluar dari pasar saham dibandingkan yang masuk. Jadi kita melihat akan ada support dari dua hal itu kepada nilai tukar rupiah,” ujar Rangga.
Rangga memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter, termasuk pemangkasan BI Rate sekitar 50 basis poin hingga 2026. Hal tersebut didasarkan pada pertumbuhan kredit yang masih di bawah target BI, potensi pemangkasan suku bunga Federal Reserve atau The Fed, serta inflasi inti yang menurut proyeksinya berada jauh di bawah 2 persen.
“Nah sehingga dengan hal itu, level sekarang di 4,75 persen, harusnya BI masih mempunyai ruang untuk pemangkasan lebih lanjut,” sebut Rangga.