Ussindonesia.co.id, JAKARTA – Indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) kembali menjadi sorotan para investor di Tanah Air. Pasalnya, MSCI dijadwalkan akan melakukan rebalancing indeks untuk periode Agustus 2025. Pengumuman resminya akan dirilis pada 7 Agustus waktu setempat, atau dini hari 8 Agustus di Indonesia. Perombakan indeks ini diperkirakan akan membawa perubahan signifikan pada daftar saham-saham Indonesia yang terdaftar dalam indeks MSCI Indonesia.
Perhatian terhadap kinerja MSCI Indonesia bukan tanpa alasan. Indeks ini kerap menjadi patokan penting bagi investor. Merujuk data historis per Kamis (7/8/2025), perjalanan MSCI Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik. Sejak pertama kali diluncurkan pada Mei 2013 di level 1.000, indeks ini sempat mengalami tekanan. Kinerjanya terus menurun hingga mencapai titik terendah di level 622,89 pada September 2025, atau anjlok 37,11% dari level peluncuran. Pemulihan baru tercapai pada April 2017, saat indeks kembali menyentuh level 1.000,43.
Setelah periode pemulihan tersebut, MSCI Indonesia hanya mampu menguat tipis 1,2% ke level 1.012,06 hingga Mei 2018. Indeks kemudian kembali tertekan di bawah level 1.000, tepatnya di 936,43 per Oktober 2018. Namun, indeks berhasil bertahan di atas 1.000 dan mencapai puncaknya di 1.129,07 pada Januari 2020, sebelum pandemi Covid-19 melanda. Ketika pandemi Covid-19 resmi diakui pada Maret 2020, indeks MSCI Indonesia anjlok signifikan ke level 709,99. Meskipun demikian, konstituen MSCI berhasil pulih pesat hingga mencapai 1.016,53 pada November 2020, dan bahkan mencetak rekor tertinggi di 1.324,35 pada April 2023, sepuluh tahun setelah peluncuran. Sayangnya, kondisi kembali berbalik, dan indeks MSCI Indonesia mengalami tren pelemahan hingga bertengger di level 1.023,52 pada Juli 2025.
Berikut adalah 10 Konstituen Terbesar MSCI Indonesia per Juni 2025:
Konstituen Index Wt (%) Parent Index Wt. (%) BANK CENTRAL ASIA 28,96 28,88 BANK RAKYAT INDONESIA 16,17 15,31 BANK MANDIRI 14,44 10,93 TELKOM INDONESIA 8,73 8,26 CHANDRA ASRI PACIFIC 5,42 5,13 ASTRA INTERNATIONAL 4,33 5,47 AMMAN MINERAL INTL 3,50 3,31 GOTO GOJEK TOKOPEDIA 3,29 3,11 BANK NEGARA INDONESIA 2,92 3,69 BARITO PACIFIC 2,47 2,33
Kinerja MSCI Indonesia ternyata masih tertinggal jika dibandingkan dengan MSCI Global maupun Emerging Market. Saat indeks Indonesia diperkenalkan, MSCI Emerging Market berada di level 1.935,82, dan terus menguat hingga mencapai level tertinggi 2.732,1 pada Januari 2018. Sementara itu, MSCI Global yang dimulai dari level 5.294,21 pada waktu yang sama, terus melesat hingga mencapai 11.625,198749 pada akhir Desember 2020. Pada Desember 2021, indeks MSCI Indonesia tumbuh ke level 1.166,30, sedangkan MSCI Global juga melanjutkan pertumbuhan menjadi 14.223,14 di akhir 2021. Menariknya, jarak antara kedua indeks sempat merapat ketika per akhir 2022 MSCI Indonesia naik ke 1.166,30, sementara MSCI Global justru turun ke 11.700,99. Namun, pada akhir 2023, MSCI Indonesia di level 1.266,95 masih jauh di bawah MSCI Global yang berada di 14.557,83. Menutup 2024, MSCI Indonesia bahkan turun ke 1.071,42, berbanding terbalik dengan MSCI Global yang melesat ke 17.352. Berdasarkan data terbaru hingga Juli 2025, indeks MSCI Indonesia berada di posisi 1.203,54, sementara MSCI Global telah mencapai 19.293.
Hingga Juni 2025, emiten dalam indeks MSCI Indonesia dengan float adjusted market cap terbesar masih didominasi oleh tiga bank raksasa. PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) memimpin dengan float adjusted market cap sebesar US$29,64 miliar, menyumbang 28,88% dari bobot indeks MSCI Indonesia. Diikuti oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) dengan US$15,71 miliar (15,31%), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) dengan US$11,22 miliar (10,93%).
Menjelang rebalancing Agustus 2025 ini, sejumlah sekuritas telah mengeluarkan prediksinya. Beberapa saham unggulan di Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti milik Prajogo Pangestu, yaitu BREN, CUAN, dan PTRO, serta saham DSSA milik Grup Sinarmas, diperkirakan memiliki peluang untuk masuk ke indeks MSCI Indonesia. Analis Samuel Sekuritas, Prasetya Gunadi dan Brandon Boedhiman, meyakini bahwa saham-saham Prajogo Pangestu berpotensi masuk dalam inklusi MSCI, mengingat kini tidak lagi berada dalam daftar pengecualian terkait konsentrasi pemilik saham. “Berdasarkan estimasi kami, BREN harus diperdagangkan di atas Rp9.000 per saham atau harus naik 16,9% agar bisa masuk ke inklusi MSCI,” terang mereka.
Samuel Sekuritas juga memperkirakan saham milik Grup Sinarmas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), memiliki peluang besar untuk inklusi dalam MSCI Indonesia Big Cap. Prediksi ini didasarkan pada Free Float Market Cap sebesar US$6,6 miliar, rata-rata volume perdagangan harian US$7,2 juta per hari selama 12 bulan, dan rata-rata rasio nilai perdagangan atau Average Traded Value Ratio (ATVR) yang melebihi benchmark 15%.
Kendati demikian, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, mengingatkan kejadian rebalancing sebelumnya pada Februari. Kala itu, MSCI secara resmi tidak mempertimbangkan penambahan BREN, CUAN, dan PTRO ke dalam MSCI Indonesia Investable Market Index (IMI), terutama karena isu investabilitas seperti format dan likuiditas. “Akibatnya pada saat itu IHSG turun sekitar 3% dan ketiga saham tersebut menyumbang sekitar 65% dari penurunan IHSG hari itu, atau sekitar 85 poin dari total 130 poin,” ujar Liza.
Di sisi lain, Investment Analyst Capital Asset Management, Martin Aditya, menilai jika melihat kriteria market cap dan free float, maka kemungkinan besar saham Grup Sinarmas PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) akan masuk ke indeks MSCI Large Cap. Sementara itu, saham Prajogo Pangestu PT Petrosea Tbk. (PTRO) diperkirakan dapat masuk ke indeks MSCI Mid Cap. Namun, saham tambang emas PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN) justru diperkirakan akan diturunkan ke indeks MSCI Mid Cap. “Tapi bisa saja ya tidak ada perubahan, tetap stay. Tetapi hanya berubah bobotnya, karena ini kalau tidak salah rebalancing minor,” tutup Martin, menambahkan bahwa rebalancing kali ini mungkin hanya akan berupa penyesuaian bobot tanpa perubahan konstituen yang drastis.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.