Rupiah Kembali Menguat pada Rabu (13/8), Ekonom Beberkan Pemicunya

Ussindonesia.co.id JAKARTA. Nilai rupiah menunjukkan penguatan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), didorong oleh rilis data penting indeks harga konsumen AS. Pergerakan positif ini menjadi sorotan di pasar keuangan, menandai respons mata uang domestik terhadap dinamika ekonomi global.

Melansir data Bloomberg pada Rabu (13/8), rupiah di pasar spot menutup perdagangan dengan penguatan sebesar 0,54%, mencapai level Rp 16.202 per dolar AS. Senada dengan itu, mengacu pada data Jisdor Bank Indonesia (BI), rupiah juga tercatat menguat 0,37% ke posisi Rp 16.237, dari sebelumnya Rp 16.298 pada sesi perdagangan lalu.

Sementara itu, pada pagi hari Rabu (13/8), rupiah di pasar spot sempat terpantau menguat ke level Rp 16.261 per dolar AS, menunjukkan tren penguatan yang konsisten sepanjang hari.

Menurut Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, penguatan nilai tukar rupiah ini utamanya dipicu oleh rilisnya data Consumer Price Index (CPI) AS untuk bulan Juli. Data tersebut menunjukkan inflasi headline di angka 2,7% secara tahunan (yoy), lebih rendah dari konsensus pasar sebesar 2,8%. “Kondisi ini memicu ‘repricing’ ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada bulan September, yang pada gilirannya menekan indeks dolar AS,” jelas Josua kepada Kontan, Rabu (13/8).

Ekspektasi Pemangkasan Bunga The Fed Tekan Dolar, Rupiah Bisa Menguat?

Tekanan terhadap dolar AS semakin menguat seiring dengan pernyataan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang mempertimbangkan pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin. Kebijakan ini selaras dengan desakan Presiden Trump untuk pelonggaran moneter yang lebih agresif. Dampaknya, mata uang Asia secara serempak menunjukkan penguatan, dengan rupiah dan baht memimpin kenaikan. Sejalan dengan itu, imbal hasil obligasi Treasury AS tenor 10 tahun cenderung mengalami penurunan, menambah tekanan pada dolar AS.

Dari sisi domestik, Josua Pardede mengamati adanya peningkatan minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN). Lelang SBN terbaru bahkan membukukan penawaran yang masif, mencapai Rp 162 triliun, angka tertinggi sejak setidaknya tahun 2016. “Penurunan yang stabil pada yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun turut berkontribusi, menambah pasokan valuta asing di pasar dan secara langsung menopang stabilitas rupiah,” papar Josua.

Menatap hari Kamis (14/8), Josua mencermati bahwa perhatian utama akan tetap tertuju pada data ekonomi Amerika Serikat, mengingat potensi dampaknya dalam mengubah ekspektasi mengenai besaran pemotongan suku bunga The Fed. Komentar dari pejabat AS serta tekanan politik yang ditujukan kepada The Fed juga akan menjadi faktor sensitif yang dapat mempengaruhi pergerakan dolar AS.

Sementara itu, dari ranah domestik, arah arus modal pada SBN pasca-lelang dan antisipasi pemaparan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang dijadwalkan pada Jumat, 15 Agustus 2025, akan menjadi penentu tambahan bagi pergerakan rupiah. “Dampak terhadap rupiah akan relatif terbatas, selama disiplin fiskal, khususnya defisit yang kurang dari 3% terhadap PDB, tetap terjaga dengan baik,” tegas Josua.

Dengan kecenderungan dolar AS yang melemah dan arus masuk modal asing ke SBN yang masih positif, Josua menaksir rupiah berpotensi bergerak dalam kisaran Rp 16.125 hingga Rp 16.250. Prediksi ini didasari perkiraan bahwa data ekonomi AS akan kembali menunjukkan sinyal yang dovish, mendukung penguatan lebih lanjut mata uang Garuda.